ALIRAN
NICHIREN SOSHU
AJARAN
DAN TOKOH-TOKOHNYA
Makalah
Disusun untuk menyelesaikan tugas pada mata kuliah
Buddhisme
Dosen Pembimbing:
Hj Siti Nadroh, M. Ag
Disusun oleh:
Ahmad Sobiyanto
NIM: 1111032100027
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A. Pendahuluan
Nichiren
Shōshū (日蓮正宗) adalah
sebuah aliran agama Buddha yang
berasal dari Jepang. Pendiri
ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap oleh penganut aliran ini
sebagai Sang Buddha pokok. Sekte ini merupakan salah satu dari
sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang. Sekte Nichiren Shoshu ini
berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang.
Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai pendiri sekte Nichiren
Shoshu.
B. Sejarah dan
Perkembangan Agama Buddha di Jepang
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan pada abad
ke-6. ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada
Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa hadiah, delegasi tersebut
juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima
agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina
kepercayaan mereka, terutama para dewa mereka[1].
Tokoh utama
dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah Pangeran Shotoku Taisi (574-621
M) yang naik tahta pada 593 M., yang peranannya dalam agama Buddha dapat
disejajarkan dengan Raja Asoka di India. Ia juga menetapkan agama Buddha
sebagai agama negara, menerjemahkan sendiri kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti dan Srimalasutra yang sangat
berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang hingga hari ini. Ia
mengirimkan para ahli Jepang ke Korea dan Cina untuk mempelajari agama, seni
dan ilmu pengetahuan. Pada tahun 607 M ia mendirikan kuil-kuil Nara dan Haryuji
yang merupakan kuil tertua dan masih berdiri hingga sekarang.
a.
Periode Keemasan
Periode pemerintahan Nara yaitu pada tahun 710-784
M, agama Buddha mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena banyak suku dan
bangsawan berpengaruh dan memeluk agama Buddha. Pada periode ini muncullah
beberapa sekte, namun yang masih bertahan hanyalah sekte Hosso yang berpusat di
kelenteng Kofukuji dan Yakushiji, serta sekte Kegon yang berpusat di kelenteng
Todaiji dan sekte Ritsu yang berpusat di kelenteng Toshodaiji.[2]
Selama zaman Nara
(710-784) Budha mengalami masa keemasannya di Jepang. Hal ini dapat dilihat
dari pengaruhnya yang tidak hanya di anut oleh kaum bangsawan tapi juga oleh
rakyat biasa.
Pada tahun 724 kaisar Shomu menaiki singgasana dan memerintah sampai tahun 749. Kaisar ini sangat berjasa dalam perkembangan agama Budha di masanya. Pada saat itu jepang sering kali mengadakan hubungan dengan Tiongkok.
Pada tahun 724 kaisar Shomu menaiki singgasana dan memerintah sampai tahun 749. Kaisar ini sangat berjasa dalam perkembangan agama Budha di masanya. Pada saat itu jepang sering kali mengadakan hubungan dengan Tiongkok.
Pada masa itu banyak
pendeta dari Tiongkok yang datang ke Jepang untuk mengembangkan agama Budha.
Sebaliknya pendeta Jepang juga banyak yang mengunjungi Tiongkok untuk
memperdalam agamanya.
Kemajuan agama Budha
juga mendatangkan perubahan pada kedudukan biksu-biksunya. Biksu-biksu ini
dipandang tinggi oleh golongan atas maupun golongan bawah.
Pada tahun 747 kaisar
Shomu memerintahkan untuk membangun sebuah patung Budha yang besar dari
perunggu. Patung Budha ini disebut Nara-no-Daibutsu atau patung Budha besar di
Nara.
b.
Periode Nasionalisasi
Di masa kekuasaan dinasti Heian (794-1185 M.) muncul usaha-usaha untuk
memadukan kepercayaan dan tradisi asli Jepang dengan agama Buddha, antara lain
melalui ajaran Saicho dan Kukai. Yang pertama, yang kemudian terkenal dengan
sebutan Dengyo Daishi, mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha
adalah sama dengan dewa-dewa dalam agama Shinto, yang disebut kami, sementara Kukai, yang selanjutnya
terkenal dengan sebutan Kobo Daishi, mengajarkan bahwa dewa tertinggi dalam
agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinggi dalam agama Buddha sehingga
tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap
agama Shinto.[3]
Periode ini diawali dengan munculnya
dua aliran agama Budha di Jepang, yaitu aliran Tendai oleh Saicho
(797-882) dan aliran Shingon oleh Kukai (774-835). Tujuan dari para
pendiri aliran tersebut adalah agar agama budha dapat diterima oleh rakyat
Jepang.
Periode ini terjadi pada masa Heian.
Pada masa itu ibu kota kerajaan dipindahkan ke Heiyan-kyo, Kyoto. Kaisar yang
memerintah pada saat itu mencurahkan perhatiannya pada suku Ezo. Suku Ezo
merupakan moyang dari suku Ainu jaman sekarang. Suku ini tinggal di provinsi
Timur-Laut di Honshu. Pada saat terjadi pertempuran suku Ezo tidak dapat
mempertahankan wilayahnya, mereka dikalahkan oleh Sakanbue Tamuramaro di Honshu
Utara pada tahun 801.
Dalam hal keagamaan telah terjadi
perkembangan yang lebih baik, banyak lahir pemuka agama Budha pada masa itu.
Diantaranya adalah Saicho dan Kukai seperti yang disebutkan di atas.
Saicho dan Kukai adalah dua orang yang dikirim kaisar Jepang ke Tiongkok untuk mempelajari agama Budha lebih jauh. Sekembalinya mereka di Jepang, Saicho membangun sekte Tendai yang dalam bahasa Cina disebut Tien Tai pada tahun 805 dengan pusat di Enryakun di gunung Hiei. Sedangkan kukai mendirikan mahzab Shingon satu tahun kemudian.
Saicho dan Kukai adalah dua orang yang dikirim kaisar Jepang ke Tiongkok untuk mempelajari agama Budha lebih jauh. Sekembalinya mereka di Jepang, Saicho membangun sekte Tendai yang dalam bahasa Cina disebut Tien Tai pada tahun 805 dengan pusat di Enryakun di gunung Hiei. Sedangkan kukai mendirikan mahzab Shingon satu tahun kemudian.
Aliran Tendai menekankan pembabatan
dan penyalamatan alam. Agama Budha Jepang yang berkarakter Jepang terus
berlangsung dan dapat didengar dalam pendidikan baru dari masa Huan. Kompleks Vihara
Tendai di atas pegunungan Hiei dikenal sebagai cikal bakal dari agama Budha
di dalam menyelamatkan keamanan negara.
Aliran Shingon adalah salah satu
bentuk dari aliran Tantra. Agama Budha Shingon menentukan penyatuan dari
pemeluknya dengan Budha dalam berbagai macam bentuk.
Dalam perkembangan sekte-sekte
Budhis, Tendai dan Shingon bercampur baur dengan agama Shinto yang nampak dalam
penyatuan dewa Shinnto dan dewa-dewa dalam agama Budha, sehingga terjadi
persekutuan pemujaaan.
Pada abad ke-13, agama Budha di
Jepang menghasilkan pembaharu yakni biksu Nichiren (1222-1282). Pemimpin yang
memiliki kharisma ini mengajarkan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan
mengucapkan kata-kata suci NamaMyohorengekyo (terpujilah
Sadharmapundarika Sutra) dan beliau tidak ragu-ragu untuk mengkritik orang
lain. Sekte ini mengajarkan dua aliran yaitu Nichiren Shu dan Nichiren
Shoshu.
c.
Periode Lanjutan[4]
Dengan
berakhirnya periode Kamakura, maka di Jepang tidak terdapat perkembangan
agama yang berari, kecuali meluasnya beberapa aliran.
Pada
zaman Edo (1603-1867), agama Budha sudah kembali menjadi agama nasional di
bawah perlindungan Shogun Tokogawa. Pada masa pemerintahan Shogun Tokogawa,
agama Budha menjadi tangan dari pemerintah. Vihara sering digunakan sebagai
pendataan dan pendaftaran penduduk dan dijadikan salah satu cara untuk mencegah
penyebaran kristen yang oleh pemerintah feodal dianggap sebagai ancaman
politik. Agama Budha tidak begitu populer dikalangan masyarakat pada masa
pemerintahan Meiji (1868-1912). Pada waktu itu, muncul usaha untuk menjadikan
Shinto sebagai agama negara, yang dilakukan dengan cara memurnikan ajaran
Shinto yang telah bercampur dengan agama Budha, dan untuk itu dibutuhkan suatu
penyelesaian. Cara yang dilakukan atara lain dengan menyita tanah Vihara
dan membatasi gerak-gerik para biksu.
Keadaan
tersebut berubah setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, agama Budha mendapat
saingan dari agama asli, Shinto. Namun hal itu dinetralisir dengan kebebasan
memeluk agama yang diberikan oleh undang-udang dasar Jepang.
Selama
periode ultra nasional (1930-1945) pemikir-pemikir agama Budha menyerukan
penyatuan dunia Timur (Asia Timur Raya) ke dalam tanah suci Budha di bawah
pengawasan Jepang. Setelah perang berakhir, kelompok-kelompok agama Budha yang
baru dan lama mulai menyatakan bahwa agama Budha merupakan agama negara yang
penuh dengan perdamaian dan persaudaraan.
Mendekati berakhirnya masa perang, aktivitas umat Budha terlihat lebih nyata, di antaranya adalah gerakan dari agama baru seperti Soka Gokkai dari Nichiren Shoshu dan Resso Kosei Kai.
Mendekati berakhirnya masa perang, aktivitas umat Budha terlihat lebih nyata, di antaranya adalah gerakan dari agama baru seperti Soka Gokkai dari Nichiren Shoshu dan Resso Kosei Kai.
C. Niciren Soshu
Aliran Nichiren Soshu didirikan oleh Nichiren.
Ajarannya bertujuan mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang
akan dijadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak
ritualisme dan sentimentalisme aliran Tanah Suci, melawan semua kesalahan,
agresif, patriotis tetapi eksklusif.[5]
Salah satu sekte dalam agama Buddha yang mengakui
Nichiren Daisyonin sebagai pendirinya dan Nikko Syonin sebagai pewaris
hukumnya. Kuil pusat sekte ini terletak di Taisekiji di propinsi Syizuoka.
Tahun 1872 dalam usaha mempersatukan negeri untuk tujuan perluasan ekonomi dan
militer pemerintah Jepang mencoba untuk mengorganisasikan aliran-aliran agama
Buddha yang terdapat di Jepang ke dalam tujuh sekte, dan merencanakan semua
sekte yang mengakui Niciren sebagai pendirinya dilebur menjadi satu dengan
sekte Niciren Syu yang berpusat di Minobu. Niciin Syonin, Bhikku tertinggi
ke-54, menentang rencana ini. Sebagai gantinya, delapan kuil yang mengakui
Nikko Syonin dan murid-muridnya bersatu di tahun 1876 dan menyebut diri mereka
sekte Niciren kelompok Nikko. Akan tetapi karena beberapa anggota kelompok ini
mengakui doktrin yang amat berbeda dengan Taisekiji, maka tahun 1900 Taisekij
berdiri sendiri, mengambil nama sekte Niciren kelompok Fuji. Tahun 1912 mereka
berganti nama menjadi Nichiren Soshu. Sekitar 1940 sebelum Jepang ikut dalam
Perang Dunia II, pemeritah menginginkan agar semua sekte-sekte Nichiren
dijadikan satu dalam pengawasan militer. Komperensi antara Bhikku dan penganut
segera diadakan di Taisekiji dan memutuskan untuk menolak tuntutan itu. Sebagai
hasil dari perjuangan bersama itu akhirnya Nichiren Soshu diperbolehkan untuk
meneruskan kebebasannya untuk seterusnya. Sejak ada kebebasan beragama setelah
perang, sekte ini mempunyai kesempatan untuk maju dengan pesat. [6]
Niciren Sosyu mengajarkan bahwa semua orang memiliki
jiwa Buddha dan dapat mencapai kesempurnaan di dunia pada kehidupan sekarang
dengan jalan percaya pada Mandala Pusaka, Dai Gohonzon. Lebih jauh lagi karena
diri dan lingkungan hakekatnya tak terpisahkan, orang yang mencapai ke-Buddhaan
secara berkelangsungan mempengaruhi lingkungannya menjadi tanah Buddha. Karena
itu, Niciren Syosyu mengutamakan “Pertapaan untuk diri dan orang lain” (Jigyo Keta),
menunjukan pencapaian kesadaran untuk diri sendiri dan penyelamatan orang lain,
lingkungan dan dunia melalui proses kosenrufu, atau suatu upaya penyebarluasan
Hukum Sakti. Berbeda dengan sekte Niciren yang lain yang hanya menghargai
Sakyamuni sebagai pusaka pujaan dan Niciren Daisyonin sebagai Boddhisatva
Agung. Niciren Syosyu menghormati Daisyonin sebagai perwujudan Buddha sejati
yang muncul pada masa Mutakhir Dharma, dan Mandala Pusaka Gohonzon yang
ditulisnya sebagai pusaka pujaan sejati untuk umat manusia di masa Mutakhir
Dharma mencapai ke-Buddhaan. Sebagai tambahan, Niciren Syosyu mendefinisikan
ajaran Sakyamuni sebagai Buddhisme pemanenan kurnia dimana hanya didapatkan
bagi mereka yang telah menerima pembibitan kesadaran di masa lampau dan Namyohorengekyo
yang diajarkan oleh Daisyonin sebagai Buddhisme pembibitan sejati pencapaian
kesadaran Buddha dari seluruh umat manusia.[7]
D.
Tokoh dan ajarannya
Dalam
Niciren Shosyu pewaris dari Hukum sejati diwariskan dari Niciren Daisyonin
kepada Nikko Syonin, dan secara ketat diturunkan pada Bhikku-bhikku tertinggi
berikutnya seperti tertera di bawah ini:
1. Niciren
Daisyonin 35. Nicion Syonin
2. Nikko
Syonin 36. Nikken Syonin
3. Nicimoku
Syonin 37. Nippo Syonin
4. Nicido
Syonin 38. Nittai Syonin
5. Nicigyo
Syonin 39. Nicijun Syonin
6. Niciji
Syonin 40. Nicinin Syonin
7. Nicia
Syonin 41. Nicimon Syonin
8. Niciei
Syonin 42. Nicigon Syonin
9. Niciu
Syonin 43. Nisso Syonin
10. Nicijo
Syonin 44. Nissen Syonin
11. Nittei
Syonin 45. Nicirei Syonin
12. Nitcin
Syonin 46. Nitcio Syonin
13. Niciin
Syonin 47. Nissyu Syonin
14. Nissyu
Syonin 48. Niciryo Syonin
15. Nissyo
Syonin 49. Nisso Syonin
16. Niciju
Syonin 50. Nicijo Syonin
17. Nissei
Syonin 51. Nicieo Syonin
18. Niciei
Syonin 52. Niciden Syonin
19. Nissyun
Syonin 53. Nicijo Syonin
20. Nitten
Syonin 54. Niciin Syonin
21. Nicinin
Syonin 55. Nippu Syonin
22. Nissyun
Syonin 56. Nicio Syonin
23. Nikkei
Syonin 57. Nissyo Syonin
24. Niciei
Syonin 58. Nitciu Syonin
25. Niciyu
Syonin 59. Niciko Syonin
26. Nicikan
Syonin 60. Nicikai Syonin
27. Niciyo
Syonin 61. Niciryu Syonin
28. Nissyo
Syonin 62. Nikkyo Syonin
29. Nitto
Syonin 63. Niciman Syonin
30. Nitciu
Syonin 64. Nissyo Syonin
31. Niciin
Syonin 65. Nicijun Syonin
32. Nikkyo
Syonin 66. Nittace Syonin
33. Nicigen
Syonin 67. Nikken Syonin[8]
34. Nissyin
Syonin
a. Tri
Ratna Dalam Agama Buddha Niciren Syosyu
Salah
satu konsep terpenting dalam Ajaran Agama Buddha adalah konsep Tri Ratna yakni:
Buddha, Dharma dan Sangha.[9]
Ketiga disebut Ratna ataua Pusaka karena ketiganya menduduki tempat amat
terhormat dan dihargai. Pusaka Buddha bukanlah pusaka yang dimiliki oleh Sang
Buddha atau pusaka yang dihargai oleh Buddha, tetapi adalah Sang Buddha itu
sendiri. Kata Buddha menunjukkan seseorang yang mencapai kesempurnaan sebagai
seorang manusia, dengan Maitri karuna yang maha agung dan besar untuk
menyelamatkan penderitaan umat manusia, dan seseorang yang secara spiritual
telah membangkitkan Hukum Kejiwaan dan Hukum Alam semetsta. Oleh karena itu,
Buddha ditempatkan sebagai manusia yang paling dihargai dan dihormati.
“Dharma”
berarti Hukum yang dibabarkan oleh Sang Buddha, yang diwariskan untuk masa
mendatang melalui kebijaksanaan dan kekuatan-Nya. Dengan melaksanakan Hukum in,
setiap manusia dapat mencapai Kesadara Buddha. Karenanya, Dharma juga patut
ditempatkan kedudukannya sebagai Pusaka
“Sangha”
adalaha sekelompok manusia yang mewariskan semangat Sang Buddha, menjaga Dharma
dan menyebarkannya ke seluruh dunia dan untuk masa yang akan datang. Oleh
karena itu, untuk penyebarluasan, melaksanakan dan mengajarkan Dharma
dibutuhkan sumbangsih Sangha dengan demikian, Sangha juga dikatakan sebagai
pusaka ketiga yang tak ternilai harganya.
Pada
masa mutakhir Dharma ini, maka Tri Ratna dalam Agama Buddha Niciren Soshu
adalah Niciren Daisyonin (Buddha), Dai Gohonzon (Dharma) dan Nikko Syonin
(Sangha).
b. Tiga
Hukum Rahasia Agung
Terdiri
dati: Pusaka Pujaan yang sejati (Jepang: Hon Mon No Honzon) ; mantera atau
daimoku yang sejati (Honmon no Daimoku) dan altar pemujaan yang sejati (Honmon
no Kaidan)[10].
Ketiganya menunjukkan inti Agama Buddha Nichiren Daisyonin dan dijelaskan dalam
Ho On Syo (Surat Membalas Budi), San Dai Hiho Syo (Surat Perihal Tiga Hukum
Rahasia Agung) dan dalam Gosyo-gosyo lainnya.
Pada
umumnya Agama Buddha menjelaskan ketiga jenis pertapaan; Sila, Samadhi dan
Prajna, yang merupakan usaha untuk penyempurnaan diri. Sang Buddha Niciren
Daisyonin mendefinisikan tiga jenis pertapaan dalam Masa Mutakhir Dharma
sebagai Tiga Hukum Rahasia Agung. Sila sesuai dengan altar pemujaan sejati,
samadhi dengan Pusaka pujaan yang sejati (Gohonzon), sedang prajna dengan
mantera atau daimoku yang sejati (Nammyohorengekyo).
Pusaka
pujaan yang sejati adalah Dai Gohonzon yang diwujudkan oleh Niciren Daisyonin
pada tangga 12 Oktober 1279 yang memungkinkan setiap orang untuk mencapai
kesadaran Buddha. Mantera atau daimoku yang sejati adalah Nammyohorengekyo,
yang diucapkan dengan penuh kepercayaan di muka pusaka pujaan; dan altar sejati
adalah tempat dimana seseorang menyebut Daiomoku (Nammyohorengekyo) di hadapan
pusaka pujaan yang sejati. Karena mantera
Nammyohorengekyo dipanjatkan di muka pusaka pujaan, dan altar didirikan
untuk menyemayamkan pusaka pujaan, maka pada akhirnya pusaka pujaan mencakupi
ketiga Hukum Rahasia Agung, sehingga dapat disebut juga sebagai Satu Hukum
Rahasia Agung. Niciren Daisyonin sendiri mewujudkan Mantera dan pusaka pujaan
yang sejati. Beliau mempercayakan tugas kepada murid-murid-Nya untuk mencapai
perdamaian dunia dan mendirikan altar sejati untuk pusat pemujaan bagi seluruh
umat manusia.
c. Taisekiji
Merupakan
Kuil Pusat Niciren Syosyu yang terletak di Kota Fujinomya, daerah Shizuoka, di
kaki gunung Fuji, didirikan oleh Nikko Syonin, penerus Niciren Daisyonin dan
merupakan Bikkhu Tertinggi ke-2. Sesudah Sang Buddha Niciren Daisyonin wafat,
Nikko Syonin tinggal di kuil Kuon di Minobu sebagai Bhiku Tertinggi. Akan
tetapi, karena tindakan pemfitnahan Nakari Sanonaga, penguasa daerah Minobu,
yang pernah menjadi murid Niciren Daisyonin dan bahkan memintanya untuk berdam
di sana, maka Nikko Syonin meninggalkan Gunung Minobu pada musim semi tahun
1289. Pada tahun 1290 beliau mendrikan sebuah kuil kecil yang bernama Dai-bo di
Oishighara, di atas sebidang tanah yang di sumbangkan untuknya oleh Nanjo
Tokimitsu. Tanah sumbangan ini adalah awal dari terbentuknya Kuil Pusat
Taisekiji. Sesudah itu, banyak kuil-kuil lain yang didirikan oleh murid-murid
Nikko Syonin.[11]
Gohozo
didirikan oleh Nichiu Syonin, Bhikku Tertinggi ke sembilan. Dai Gohonzon
disemayamkan di tempat tersebut dan dipindahkan ke Hoan-den tahun 1955. Pintu
Utama yang Pertama disebut Somon, didirikan tahun 1522 oleh Nitchin Syonin,
Bhikku tertinggi ke-21. Beliau juga membangun kembali Hondo (Kuil Utama) dan
Miei-do. Tahun 1632 Bhikku Tertinggi ke-27, Nissei Syonin, membangun kembali
Miei-do dengan dana yang disumbangkan oleh Kyodai-in, isteri dari seorang tuan
tanah di Propinsi Awa, Pulau Shikoku. Tahun 1697 perpustakaan Sutra dibangun
oleh Niciei Syonin, Bhikku tertinggi ke-24. Gerbang rangkap tiga Taisekiji
dibangun oleh Bhikku tertinggi ke-25, Nichiyu Syonin, dengan dana dari
Tennei-in, isteri Tokugawa Ienobu, Shogun Tokugawa ke enam. Ia juga membangun
pintu yang disebut Onimon (Pintu Raksasa) atau Asahimon (Pintu Matahari Pagi).
Tahun 1727 Josho-do dilengkapi oleh Bhikku tertinggi ke-28, Nissho Syonin,
sehubungan dengan janji yang dibuat oleh Bhikku Tertinggi ke-26, Nichikan
Syonin. 1749 pagoda lima tingkat ddirikan oleh Niciin Syonin, Bhikku tertinggi
ke-31. Dai-bo dan Kyakuden terbakar pada bulan Juni 1945 di akhir Perang Dunia
II. Sesudah perang, banyak bangunan didirikan, termasuk Hoan-Den, Dai-kodo, dan
sejumlah kuil-kuil tempat tinggal dan tempat untuk peziarah. Dai Kyakuden
selesai dibangun pada tahun 1964. Oktober 1972, Syohodo (Kuil Agung Utama)
selesai dibangun untuk menyemayamkan Dai Gohonzon.[12]
d. Ajaran-ajaran
dari Nichiren Daishonin
1. Nam-myoho-renge-kyo
Nam-myoho-renge-kyo berarti “Aku mengabdikan diriku terhadap
kebenaran falsafah hidup yang tak terkatakan kedalam dan keindahannya yang
dijelaskan di dalam Sutra Teratai yang mengandung ajaran Buddhisme yang paling luhur”.
Dengan
kata lain perkataan, kata-kata itu menyatakan pengabdian dirinya kepada
realitas hidup semesta-terhadap hidup yang ada dimana-mana dalam alam semesta.
Nichiren Daishonin berpendapat bahwa hanya bilamana manusia menjadi satu dengan
hidup dari alam semesta dia benar-benar mencapai kebahagiaan mutlak, yang tak
tergoncangkan (alam ke-Buddha-an).
2. Gohonzon
Untuk memberi manusia biasa suatu barang pusat
pemujaan yang jelas, Nichiren Daishonin menciptakan ‘Gohonzon’ diamanatkan
kepada setiap orang yang percaya pada Nichiren Daishonin dan ajaran-ajarannya
yang benar. Sebagai suatu benda pusat pemujaan bagi semua orang di mana saja,
dia mengukir Dai-Gohonzon Agung, yang kini ditempatkan di ruang utama Sho-Hondo
dari Diseki-ji, kuil utama Nichiren Shoshu. Siapa pun yang tawakal pada
Dai-Gohonzon dan mengucapkan Nam-myoho-renge-kyo kepadanya akan merasa roh
perorangannya bergabung dengan roh semesta. Nam-myoho-renge-kyo bukan
semata-mata bacaan; ini melibatkan doa-doa dan perbuatan-perbuatan pula.
3. Teori
‘Kaidan’
Berdasarkan sejarah, kaidan adalah suatu balai
Buddhis tempat para calon pendeta mengangkat nadar keagamaan. Dalam agama
Buddhisme Nichiren Daishonin, ini mempunyai arti lebih banyak, merupakan tempat
pusat pemujaan di mana semua orang dapat menyatakan kebulatan tekad mereka
untuk mengubah hidup mereka untuk perbaikan mereka sendri dan seluruh umat
manusia dan membersihkan diri mereka dari karma yang menyedihkan melalui
kekuatan Dai-Gohonzon yang maha besar.[13]
Falsafah
Buddhisme Nichiren; Nichiren Daisonin memperkembangkan teori-teori;
1.
Tentang hubungan antara budi dan zat
dalam jasad hidup dan menghasilkan istilah-istilah khas untuk menerangkan
teorinya. Kata Shikiko berarti semua
zat atau semua fenomena fisik. Kata shimpo
berarti kerja pikiran atau cara berpikir. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan
atau funi. Shikishin: gabungan dari bagian-bagian pertama dari Shiki-ho dan Shim-po funi, karena itu berarti keutuhan dari budi dan zat. Teori
ini mencapai perkembangannya yang paling halus berhubungan dengan gagasan bahwa
jiwa hidup meresapi segala sesuatu.
2.
Tentang hubungan antara lingkungan dan
jasad. Untuk mengerti ini perlu mengetahui dahulu istilah Shoho berarti pokok, kedudukan subyektif, atau jasad hidup yang
merupakan pokok. Eho adalah obyek,
kedudukan obyektif atau lingkungan; ialah, obyek tanpa mana subyek Shoho tak akan dapat merupakan shoho. Shoho dan Eho adalah dua
dan meskipun demikian bukanlah dua; keduanya adalah terpisah namun tak dapat
dipisahkan. Jika Shoho adalah badan, eho adalah bayangan. Gagasan akan suatu
dunia yang sama sekali tak bernyawa adalah dua segi dari suatu barang. Teori
Nichiren mengajarkan bahwa shoho dan eho tidak dapat dipisahkan karena keduanya
adalah jalan bagaimana kehidupan pokok menunjukkan dirinya.
Lingkungan
atau eho, mengandung syarat-syarat yang membawa hidup ke dalam perwujudan yang
diberi sifat khusus dalam bentuk shoho itu. Dengan lain perkataan lingkungan
(eho) dan bentuk kehidupan (shoho) karena itu tidak dapat dianggap dua barang
terpisah oleh sebab jiwa hidup hadr di mana-mana di seluruh alam semesta dan
merupakan zat dasar utama dari keduanya. Nichiren Daishonin menjelaskan tentang
alam semesta sebagai diresapi dengan hidup telah berabad-abad mendahului
pengetahuan ilmiah; selanjutnya penjelasan itu lama berselang mengajar
bagaimana manusia harus hidup selaras dengan lingkungannya, yang pada akhirnya
adalah suatu bagian dari kehidupan semesta yang sama dari mana manusia pula
merupakan suatu manifestasi. [14]
3.
Nichiren mengajarkan bahwa roh semesta
meresapi segala sesuatu dalam alam semesta. Buddhisme tidak membuat perbedaan
antara benda bernyawa dan benda tidak bernyawa tetapi membagi segala sesuatu di
dalam alam semesta ke dalam wujud-wujud perasaan (ujo) dan tanpa rasa (hijo).
Ujo berarti wujud yang mempunyai perasaan dan kesadaran; hijo berarti
wujud-wujud tak mempunyai perasaan dan kesadaran. Ujo dapat mengandung hijo;
ialah makhluk-makhluk perasaan mengandung unsur-unsur tanpa rasa. Dan hijo
dapat menampilkan sifat perasa; meskipun emosi-emosi dan kesadaran masih dalam
keadaan tidur, apabila diberi syarat yang tepat, makhluk-makhluk tanpa rasa
dapat berkembang menjadi perasa. Wujud hayati dan nirhayati tidak lebih dari
sementara, karena roh yang sama hadir di dalam perwujudan dalam kedua golongan.
Bentuk hayati menampakkan hidup sedang berjalan, bentuk nirhayati
menggambarkannya dalam keadaan latent.
Kesadaran
Buddhist akan peresapan roh semesta pada semua perwujudan baik perasa maupun
tanpa rasa, menuju ke kesadaran akan kekekalan hidup.
4.
Nichiren juga menguraikan tentang
kesadaran manusia melihat dunia dengan berbagai cara yang dapat diringkaskan
dalam tiga golongan pokok; 1. Pengamatan akan bentuk-bentuk sementara atau
fenomena material (ketail), 2. Pengamatan akan kehampaan atau fenomena
spiritual (kutai), 3. Pengamatan akan sifat hakiki dari benda-benda (chutai),
yang menampakkan dirinya dalam kedua bentuk lainnya. In dikenal dengan teori
santai. Ku dari Kutai adalah padanan
dari kata Sunyata (skt.). pendek kata
Ku berarti dunia kebenaran yang
mutlak, tak terbatas yang tercapai dengan melampaui pandangan sesuatu yang
relatif, hipotesis, konseptual, dan semua gagasan tentang eksistensi dan
noneksistensi. Masing-masing dari ketiga cara itu mengandung kedua lainnya.
Istilah en’yu-no-santai atau
“jenis-jenis pengamatan, yang saling mengisi dan melengkapi” secara ringkas
menyatakan persatuan ini. Teori ini diperkembangkan oleh Bhiksu Chih-i
(538-597) pendiri sekte T’ien-t’ai Buddhisme d China. Di Jepang sekte Tendai
(T’ien-t’ai) ddirikan oleh Bhiksu Saicho (767-822).[15]
5.
Ajaran Nichiren Daishonin juga
berdasarkan dari Sekte T’ien-t’ai yakni Ichinen-Sanzen
yang berarti secara harfiah ‘tiga ribu gagasan dalam satu saat tunggal’. Kata Ichinen berarti mikrokosmos. Kata sanzen dapat menunjang kepada banyak
aspek yang berlainan yang dapat diambil oleh hidup semesta, ialah totalitas
dari semua fenomena. Sanzen sebagai
makrokosmos.
Apa
itu tiga ribu? Penjelasannya ialah terdapat 10 alam eksistensi, yang harus
dilalui makhluk-makhluk hidup di mana mereka menempatkan drinya. Tiap-tiap alam
mengandung kesemuanya dari 10 alam dalam dirinya, jadi seluruhnya menjadi 100
alam. Terdapat 10 faktor pokok yang memberi ciri kepada semua barang (ju-myoze). Jadi 100 alam dikalikan 10
faktor menjadi 1000 alam. Dan setiap makhluk hidup dapat berhubungan dengan 3
lingkungan. Jadi jumlah alam eksistensi adalah 3000. Istilah ichinen sanzen berarti jiwa semesta yang
terdapat dalam satu saat pikiran tunggal (ichinen) mengandung semua alam yang
mungkin ada dalam alam semesta dengan cara ini atau saling berkaitan itu;
mikrokosmos memenuhi makrokosmos, dan makrokosmos adalah tersirat dalam
mikrokosmos.
Sepuluh
Alam Hidup[16]:
1. Jigoku-kai
(Neraka; lam derita),
2. Gai-kai
(kelobaan; alam yang menguasai orang dengan kerakusan),
3. Chikusho-kai
(kebinatangan; alam yang menyebabkan orang dikuasai oleh naluri-nalurinya),
4. Shura
(keberangan; alam yang menguasai orang dengan sifat persaingan),
5. Nin-kai
(kemanusiaan atau ketenteraman; keadaan biasa dari hidup),
6. Ten-kai
(surga atau sukacita; alam kebahagiaan),
7. Shomon-kai
(kesarjanaan; alam orang yang merasakan kebahagiaan berilmu),
8. Engaku-kai
(penciptaan; alam kejiwaan di mana orang menghargai kesenangan penciptaan),
9. Bosatsu-kai
(bodhisattva; alam yang menginginkan kebahagiaan bagi orang lain),
10. Bukkai
(cita Buddha; alam ke-Buddha-an).
Kesepuluh
Alam tersebut mengandung semua alam (10 alam) lainnya dalam dirinya. Ini
berarti bahwa setiap alam, disamping semua alam lainnya mengandung alam
ke-Buddha-an. Jadi jumlah Alam 10 x 10 = 100 Alam.
Sepuluh faktor
(syarat bereksistensi bagi semua makhluk dan tersirat pada semua benda);
-
Faktor 1.
Nyoze-so (bentuk),
-
Faktor 2.
Nyoze-sho (naluri),
-
Faktor 3.
Nyoze-tai (wujud),
-
Faktor 4.
Nyoze-riki (daya),
-
Faktor 5.
Nyoze-sa (kegiatan),
-
Faktor 6.
Nyoze-in (faktor penyebab dalam),
-
Faktor 7.
Nyoze-en (faktor penyebab luar),
-
Faktor 8.
Nyoze-ka (efek terpendam; latent),
-
Faktor 9.
Nyoze-ho (efek nyata),
-
Faktor 10.
Nyoze-honmatsu-kukyoto (perpaduan dari sembilan faktor lainnya).
Faktor
1, 2, 3, melukiskan realitas-realitas jasmaniah dan rohaniah dari hidup. Faktor
4 sampai dengan 10 menjelaskan cara bagaimana hidup itu berlangsung.
Tiga
lingkungan/dunia (san-ken) [17]:
1. Go-on
Seken (dunia kesatuan; lingkungan Panca-Skandha),
2. Shujo-Seken
(dunia dari makhluk hidup),
3. Kokudo-Seken
(dunia dari lingkungan).
Jadi
10 Alam Hidup x 10 alam lainnya dalam dirinya x 10 faktor x 3 lingkungan/dunia
= 3000 dari alam-alam ini ada pada satu saat eksistensi. Oleh karena itu setiap
individu akan mampu untuk mencapai ke-Buddha-an.
E.
Kitab Suci Nichiren Shoshu dan
Perbandingan dengan Nichiren Shu, Sokka Gakkai mengenai Tri Ratna
Sekte
Budha Nichiren Soshu disebarkan oleh Nichiren Daisyonin yang mengakui dirinya
dan dipercaya umatnya sebagai Budha masa akhir Dharma serta hanya mengakui
Sadharmapundarika Sutra sebagai satu-satunya Sutra Agung yang paling unggul
dari ribuan Sutra Kitab Suci Tripitaka.[18]
Berikut
Tabel Perbandingan antara Nichiren Shu, Nichiren Soshu dan Sokka Gakkai
mengenai Tiga Hukum Agumg:[19]
|
Nichiren
Shu
|
Nichiren
Shoshu
|
Sokka Gakkai
|
||
Triratna
|
|||||
Doktrin
teori resmi
|
Kenyataan yang diteliti dan diajarkan
|
||||
|
|||||
Buddha
|
Buddha Sakyamuni yang Abadi
|
Nichiren Shonin
|
Nichiren Shonin
|
Presiden
Ikeda
|
|
Dharma
|
Namu Myoho
Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
|
Namu Myoho
Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
|
Namu Myoho
Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
|
Ajaran dan tulisan dari Presiden Soka Gakkai
|
|
Sangha
|
Nichiren
Shonin (memimpin semua Bhiksu, biarawati dan pengikutnya)
|
Nikko Shonin
dan Bhiksu Tertinggi turun temurun dari Kuil Taisekiji
|
Nikko Shonin
|
Organisasi dari Soka Gakkai dan semua anggotanya
|
Daftar
Pustaka
Ali, Mukti, Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Bakry, Hasbullah. Ilmu Perbandingan Agama. Jakarta:
wijaya, 1989.
Conze, Edward. Buddhism-A Short History. Jakarta: Karania, 2010.
Hadiwijono,
Harun. Agama Hindu Buddha. Jakarta:
Gunung Mulia, 2008.
Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan
Perkembangannya .
Nahrawi, Muh. Nahar & Aliroso,
Eko. Profil Yayasan Pandita Sabha
Budha Dharma Indonesia (YPSBDI), NICHIREN SYOSYU INDONESIA (NSI) DI
BATAM, 2006, dikutip pada 28 Mei 2013
Septiawan, M Adril. Masuknya Agama Buddha ke Jepan., dikutip
pada 28 Mei 2013
Suwarto, T. Buddha Dharma Mahayana. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Tarabini, Bhiksu Shoryo. Perbedaan dan Persamaan Antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan Soka Gakkai. Perhimpunan Buddhis Nichiren
Shu Hokekyo Indonesia
[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Buddha. (Jakarta: Gunung
Mulia, 2008) h. 69.
[3] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988)
cet. Pertama h. 141
[4]M Adril Septiawan, Masuknya Agama Buddha ke Jepang, dikutip
pada 28 Mei 2013 melalui
http://darielszone.blogspot.com/2012_05_01_archive.html
[5] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta (IAIN Sunan Kalijaga Press: 1988)
cet. Pertama hal. 142
[6] Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan
Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, h. 20
[7] Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan
Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, h. 21
[8] Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan
Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, h. 22
[9]
Bhisksu Tarabini Shoryo, Perbedaan dan
Persamaan Antara Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan Soka Gakkai, Perhimpunan
Buddhis Nichiren Shu Hokekyo Indonesia, h. 5
[10] Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan
Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, h. 23
[11] Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya
Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, h. 24
[12] Majelis Agama Buddha Niciren
Syosyu Indonesia, Sejarah dan
Perkembangannya Agama Buddha Niciren Syosyu di Indonesia, h. 24
[13] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, h. 522.
[14] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, h. 525
[15] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, h. 525
[16] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, h. 526
[17] Suwarto T, Buddha Dharma Mahayana, Jakarta, Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, h. 527
[18]
Muh. Nahar Nahrawi dan Eko
Aliroso, Profil Yayasan Pandita Sabha
Budha Dharma Indonesia (YPSBDI), (NICHIREN SYOSYU INDONESIA (NSI) DI
BATAM; 2006) dikutip pada 28 Mei 2013 melalui
http://www.balitbangdiklat.kemenag.go.id/sinopsis-hasil-penelitian/kehidupan-beragama/239-nichiren-syosyu-indonesia-nsi-di-batam-.html
[19]
Bhiksu
Shoryo Tarabini,Perbedaan dan
Persamaan Nichiren Shu, Nichiren Shoshu dan Soka Gakkai, Perhimpunan Buddhist
Nichiren Shu Hokekyo Indonesia, h. 5-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar