A. Pendahuluan
Agama Budha
disebut mempunyai pengaruh besar di Indonesia sebab agama budha merupakan agama
yang paling awal tersebar di Indonesia setelah agama hindhu. Agama budha muncul
sekitar abad ke 6 SM,sebagai reaksi terhadap agama hindu yang dianggap terlalu
kaku. Istilah Budha
berarti “Budhh”
yang artinya bangkit, dan kata kerja “Bujjhati” yang berarti memperoleh pencerahan.
Berbeda
dari agama yang lainnya agama Budha lebih
mengutamakan penganutnya untuk berbuat (karma) membebaskan diri masing-masing dari
dukkha untuk mencapai nirwana. Umat Budha tidak memerlukan upacara persembahan
atau pemujaan kepada para Dewa (Tuhan) tetapi mereka cukup melakukan Hasta Arya
Marga. Namun dilihat dari segi kelembagaan umat Budha dapat dibedakan dalam dua kelompok
yaitu kelompok Wihara (Bihara) atau Sangha dan kelompok penganut agama yang
awam.[1]
B. Tingkat
kesucian, kedudukan Sangha
Buddha,
Dhamma, dan Sangha tidak dapat dipisah-pisahkan dalam pembahasannya. Jadi,
kalau ada guru, maka harus ada ajaran dan juga harus ada siswa yang berhasil
untuk membuktikan kebenaran ajaran sang guru tersebut. Oleh sebab itu, ketiga
hal ini saling berkaitan. Dalam Khuddakanikaya, Khuddakapatha, dijelaskan
beberapa perumpamaan dari Tiratana di antaranya yaitu:
1.
|
Dokter
|
Obat
|
Pasien yang sembuh
|
2.
|
Matahari
|
Sinar
|
Bumi yang terkena sinar
|
3.
|
Sopir kapal
|
Kapal
|
Penumpang yang sampai tujuan
|
4.
|
Penunjuk harta karun
|
Peta
|
Orang yang menemukan harta
|
5.
|
Busur panah
|
Anak panah
|
Sasaran yang terkena anak panah
|
BUDDHA DHAMMA SANGHA
Secara
kelembagaan umat Budha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok
pertama terdiri dari Bhikkhu, Bhikkhuni, Samanera dan Samaneri. Mereka
menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan
kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam
terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada
Budha, dharma dan sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat
awam dan hidup berumah tangga.[2]
Pada
saat itu ada enam puluh orang siswa Arahat di dunia. Dengan Para suci ini
sebagai inti, Sang Budha mendirikan satu kelompok silibat yang demokratis dalam
peraturan dan pemerataan dalam pembagian. Anggota semula dari masyarakat yang
sangat terpandang dan semua terpelajar serta kaya, tetapi persaudaraan para
siswa terbuka untuk semua, tidak memandang kasta, kelas atau golongan. Baik
muda maupun tua, berasal dari semua kasta, bebas memasuki Sangha dan hidup
sebagai saudara dalam satu keluarga tanpa perbedaan. [3]
dengan enam puluh Arahat, sebagai utusan Kesunyataan yang baik, Sang Budha
memutuskan untuk memperkenalkan ajaran Dhamma mulia Beliau, membeberkan ajaran
hanya untuk mereka yang bermaksut untuk mendengarkannya.
Sang
Budha menyadari sulitnya menjalankan Delapan Ruas Jalan Suci seraya memelihara
kehidupan keluarga, maka beliau membentuk komunitas egaliter, Sangha yang
mula-mula hanya terdiri dari bhikkhu, tetapi kemudian juga beranggotakan para
bhikkhuni. Dengan hidup didalam suatu komunitas, para calon anggota sangha akan
saling mendukung dan melihat betapa tempat pengajaran Dharma itu disampaikan ke
berbagai generasi pencarian kebenaran. Sangha merujuk pada aturan para bhikkhu
dan anggota kaum awam. Bhikkhu pertama ditahbiskan oleh Sang Budha, tetapi
dengan makin banyaknya golongan, para bhikkhu bisa menerima anggota baru.
Sang Budha menjelaskan rincian mengenai
Kesunyataan Mulia yang keempat yang kemudian disebut dengan Delapan Ruas Jalan
Suci ini. Semua anggota baru melakukan suatu deklarasi yang dikenal sebagai
Tiga Permata Agama Budha (atau Tri-Ratna), yakni deklarasi yang dinyatakan oleh
semua umat Budha hingga saat ini.
1. Aku
berlindung kepada Budha (sebagai bukti bahwa pembebasan mengakhiri penderitaan)
2. Aku
berlindung kepada Dharma (untuk pengetahuan dan pengertian mengenai hukum
kosmis)
3. Aku
berlindung kepada Sangha (untuk mendapatkan dukungan praktis dan spiritual)
Pada
mulanya sang Budha tidak membuat aturan yang tegas untuk Sangha. Beliau hanya
sekedar meminta agar anggota-anggotanya berjanji untuk menjalani hidup yang
etis. Berbagai aturan rincian mengenai sangha yang masih ada dalam teks Vinaya
Pitaka mencakup semua aspek keberadaan biara, terutama hubungannya dengan
anggota lain di dalam komunitas dan populasi kaum awam yang ditemui oleh bhikku
dan bhikkuni ketika mengumpulkan sumbangan berupa makanan sehari-hari. [4]
Etika
Budhis itu ketat. Pikiran, ucapan, atau perbuatan apa pun yang menyakiti
makhluk hidup lainnya akan menimbulkan bencana bagi pemeluknya sesuai dengan
hukum karma, sehingga para bhikkhu dan bhikkhuni biasanya adalah vegetarian.
Para bhikku tidur di tempat tisur yang sederhana agar tidak terlalu kekenyangan
atau terlalu sedikit menikmati kenyamanan dan kepemilikan pun dibatasi hingga
hanya berupa hal-hal yang hakiki. Dengan memiliki sesuatu secara berlebihan
berarti mencuri dari orang lain yang mungkin lebih membutuhkan.
Sangha
adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka bagi setiap umat untuk masuk
dan bergabung ke dalamnya, dengan melalui tahap-tahab tertentu, baik pria
ataupun wanita. Seseorang yang masuk dan bergabung ke dalam sangha berarti akan
hidup dalam ‘Wihara’(biara) tanpa lagi memiliki rumah tempat kediaman dan hidup
sebagai petapa.
Sangha
ialah persaudaraan para bhiksu, bhiksuni(pada waktu permulaan dibentuk).
Kemudian, ketika agama Budha Mahayana berkambang para anggotanya selain para
bhiksu, bhiksuni, dan juga para umat awam yang telah upasaka dan upasika dengan
bertekat pada kenyataannya tindak-tanduknya untuk menjadi seorang Bodhisattava,
menerima dan memperaktekkan pancasila Budhis ataukah Bodhisattva Sila.
Arya
Sangha semata-mata terdiri dari para Bodhisattva yang telah memasuki tingkat
kedua atau lebih mengenai jalan penerangan atau penceraha tertinggi. Sebagian
dari Bodhisattva mungkin kehidupannya sebagai bhiksu dan lainnya sebagai umat
awam. [5]
Sangha
adalah perhimpunan para bhikkhu.
Kata Sangha bukan berarti
semata-mata sebagai kelompok para bhikkhu,
namun lebih berarti sebagai para bhikkhu
yang berkumpul untuk menjalankan suatu tugas kegiatan tertentu.
Untuk melakukan suatu kegiatan tertentu maka Sangha baru sah jika minimal dihadiri oleh empat orang bhikkhu yang disebut catuvagga. Jadi kalau hanya ada tiga
orang bhikkhu, maka itu bukan Sangha. Khusus untuk pentahbisan
seorang bhikkhu (upasampada), maka Sangha minimal harus dihadiri oleh
lima orang bhikkhu (pancavagga). Sedang untuk sidang
pengadilan bagi seorang bhikkhu
yang melakukan pelanggaran tertentu, maka Sangha baru sah jika dihadiri oleh minimal duapuluh orang bhikkhu (visativagga). Inilah yang sebenarnya disebut Sangha. Jadi kalau ada beberapa orang
bhikkhu tinggal divihara,
tetapi tidak melakukan sesuatu tugas, maka ini tak dapat disebut Sangha.[6]
Sangha yang berarti pesamuan atau persaudaraan para Bhikkhu. Kata
Sangha pada umumnya ditujukan untuk sekelompok Bhikkhu. Ada 2 jenis Sangha
(persaudaraan para Bhikkhu), yaitu:
1.
Sammuti Sangha = persaudaraan
para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
2.
Ariya Sangha = persaudaraan
para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Yang
dimaksut dengan Sangha menurut ajaran agama Budha ialah Pasamuan dari makhluk-makhluk
suci yang disebut “Arya Punggala” yaitu mereka yang sudah mencapai buah
kehidupan beragama yang ditandai dengan kesatuan pandangan yang bersih dengan
sila yang sempurna. Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari tingkat
sotapatti, sakadagami, anagami, sampai tingkat arahat.
·
Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari:
§ Sotapatti
Tingkat pertama ini adalah di mana seseorang masih harus menjelma tujuh
kali lagi sebelum sampai nirwana. Pada tingkat ini seseorang masih harus
berusaha mematahkan belenggu ‘kemayaan’ Akunya (Sakkayaditthi), keragu-raguan
(vicikiccha), dan ketahayulan (silabataparamasa) sebelum mereka dapat meningkat
ke tingkat kedua yaitu Sakadagami.
§ Sakadagami
Tingkat kedua ini adalah di mana seseorang itu harus menjelma sekali lagi
sebelum mencapai nirwana. Ia harus dapat membangkitkan ‘kundalini’ sebelum naik
ke tingkat ketiga ‘Anagami’
§ Anagami
Tingkat ketiga kesucian ini adalah dimana seseorang tidak perlu lagi
menjelma untuk mencapai nirwana, namun ia harus mematahkan belenggu ‘kamaraga’
(kecintaan indrawi), ‘pategha’ (kemarahan atau kebencian). Setelah ia berhasil mematahkan
belenggu tersebut barulah ia naik ke tingkat ‘Arahat’ dan dapat langsung
mencapai Nirwana didunia ayau setelah wafatnya.
§ Arahat
Tingkat keempat kesucian ini di mana seseorang itu harus mematahkan
belenggu sebagai berikut:
- Keinginan untuk hidup dalam ruparaga (bentuk)
- Keinginan untuk hidup arupara (tanpa bentuk)
- Kecongkakan (mano)
- Kegoncangan batin (udaccha)
- Kekurangan kebijaksanaan (avijja)
Selain empat tingkatan diatas menurut
agama Budha masih ada tingkatan ‘Asekha’ atau orang yang sempurna (sabbanu)
yang tidak perlu belajar lagi di bumi ini, di antaranya Sidharta Gautama yang telah mencapai tingkat
kebudhaan tanpa harus belajar atau berguru kepada orang lain.[7]
Untuk dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian, maka mereka harus
dapat mematahkan 'belenggu' yang mengikat mahluk pada roda kehidupan. Belenggu
ini disebut Samyojana. Ada 10 jenis belenggu yang harus dipatahkan bertahap
sehubungan dengan pencapaian tingkat-tingkat kesucian, yaitu:
1.
Sakkayaditthi = kepercayaan tentang adanya diri / kepemilikan
/ atta yang kekal dan terpisah.
2.
Vicikiccha = keraguan terhadap
Buddha dan ajarannya.
3.
Silabbataparamasa = kepercayaan
tahyul, bahwa dengan upacara sembahyang saja, dapat membebaskan manusia dari
penderitaan.
4.
Kamachanda / kamaraga = hawa
nafsu indera
5.
Byapada / patigha = kebencian,
dendam, itikad jahat.
6.
Ruparaga = keinginan untuk
hidup di alam yang bermateri halus.
7.
Aruparaga = keinginan untuk
hidup di alam tanpa materi.
8.
Mana = kesombongan,
kecongkakan, ketinggihatian.
9.
Uddhacca = kegelisahan, pikiran
kacau dan tidak seimbang.
10. Avijja = kegelapan / kebodohan batin.
Mereka yang telah terbebas dari 1 - 3 adalah mahluk suci tingkat
pertama (Sotapanna) yang akan tumimbal lahir paling banyak tujuh kali
lagi.
Mereka, yang disamping telah terbebas dari 1 - 3, dan telah dapat
mengatasi / melemahkan no. 4 dan 5, disebut mahluk suci tingkat kedua (Sakadagami),
yang akan bertumimbal lahir lagi hanya sekali di alam nafsu.
Mereka yang telah sepenuhnya bebas dari no. 1 - 5, adalah mahluk
suci tingkat ketiga (Anagami), yang tidak akan tumimbal lahir lagi di
alam nafsu).
Mereka yang telah bebas dari kesepuluh belenggu tersebut, disebut
mahluk suci tingkat keempat (Arahat), yang telah terbebas dari kelahiran dan
kematian, yang telah merealisasi Nibbana (Kebebasan Mutlak).
Selain ditinjau dari 'belenggu' yang mengikat pada
roda kehidupan yang harus dipatahkan, pengertian mahluk suci ini juga dapat
ditinjau dari segi Kekotoran batin (kilesa)-nya, yang telah berhasil
mereka basmi. Ada 10 kilesa yang harus dibasmi sehubungan dengan
pencapaian tingkat-tingkat kesucian tersebut, yaitu:
1.
Lobha = ketamakan
2.
Dosa = kebencian
3.
Moha = kebodohan batin
4.
Mana = kesombongan
5.
Ditthi = kekeliruan pandangan
6.
Vicikiccha = keraguan (terhadap hukum kebenaran /
Dhamma)
7.
Thina-Middha = kemalasan dan
kelambanan batin
8.
Uddhacca = kegelisahan
9.
Ahirika = tidak tahu malu (dalam berbuat jahat)
10. Anottappa = tidak takut
(terhadap akibat perbuatan jahat)
Sotapanna, dapat membasmi no. 5 dan 6; Sakadagami, dapat
membasmi nomor 5 dan 6 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Anagami, dapat
membasmi nomor 5, 6 dan 2 serta melemahkan kilesa yang lainnya; Arahatta, dapat
membasmi kesepuluh kekotoran batin tersebut.
Di dalam Anguttara Nikaya, Tikanipata 20/267,
disebutkan tentang sifat-sifat mulia Sangha, yang disebut Sanghaguna. Ada 9
jenis Sanghaguna, yaitu:
1.
Supatipanno
Bertindak / berkelakuan baik
Bertindak / berkelakuan baik
2.
Ujupatipanno
Bertindak jujur / lurus
Bertindak jujur / lurus
3.
Nayapatipanno
Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbana)
Bertindak benar (berjalan di 'jalan' yang benar, yang mengarah pada perealisasian Nibbana)
4.
Samicipatipanno
Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
Bertindak patut, penuh tanggung jawab dalam tindakannya
5.
Ahuneyyo
Patut menerima pemberian / persembahan
Patut menerima pemberian / persembahan
6.
Pahuneyyuo
Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
Patut menerima (diberikan) tempat bernaung
7.
Dakkhineyyo
Patut menerima persembahan / dana
Patut menerima persembahan / dana
8.
Anjalikaraniyo
Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
Patut menerima penghormatan (patut dihormati)
9. Anuttaram punnakhettam lokassa
Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.
Lapangan (tempat) untuk menanam jasa yang paling luhur, yang tiada bandingnya di alam semesta.
Dalam Tiratana, yang dimaksud Sangha di sini berarti Ariya Sangha.
Jadi berlindung kepada Ariya Sangha. Tidak berlindung kepada Sammuti Sangha;
tetapi kita menghormati Sammuti Sangha karena para beliau ini mengemban amanat
Sang Buddha sebagai penyebar Dhamma yang jalan hidupnya mengarah ke jalan
Dhamma.
Para Bhikkhu Sangha yang selalu kokoh dalam Dhamma-Vinaya adalah
merupakan ladang yang subur juga bagi para umat. Oleh karena itu para umat
diharapkan juga bersedia berkewajiban menyokong agar para Bhikkhu Sangha kokoh
dalam moralitas dan tindak-tanduknya.[8]
Sangha adalah inti masyarakat Budha yang dapat menciptakan suasana
yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu Nirwana. Namun
demikian, sangha tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap umat Budha yang
bersifat lahir lahiriyah. Hubungan yang terjalin adalah hubungan yang bersifat
rohaniah. Anggota sangha adalah teladan dari cara hidup yang suci, menyampaikan
dharma atas permintaan umat dan membantu mereka dengan nasihat maupun
penerangan batin dalm suka dan duka. Dari umat Budha sangha patut menerima
pemberian (ahu-neyyo), tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dakkhineyyo),
penghormatan (anjalikarananiyo) dan merupakan lapangan untuk menanam jasa yang
tidak ada taranya di dunia (anuttaram pannakhettam lokassa).
Menurut kepercayaan umat Budha, sangha tidak dapat dipisahkan dari
darma dan Budha, karena ketiganya sering digambarkan sebagai berikut: Budha
sebagai bulan purnama, dharma sebagai sinarnya yang menyinari dunia, dan sangha
sebagai dunia yang berbahagia menerima sinar tersebut”. Dengan kata lain, Budha
digambarkan sebagai orang yang membakar hutan, dharma sebagai api yang membakar
hutan, yaitu kotoran batin, dan sangha sebagai lapangan terbuka untuk menanam
padi, atau jasa, setelah hutan habis dibakar.
Sebagai suatu bentuk masyarakat keagamaan, sangha terbuka bagi
setiap umat Budha untuk memasuki dan bergabung di dalamnya, dengan melalui
tahap-tahap tertentu. Tahap pertama dimulai ketika umat Budha menerima jubah
kuning dan memasuki persaudaraan para bhikku. Tahap ini dikenal dengan saat
keluar dari kehidupan umat awam untuk memasuki hidup kewiharaan tanpa memiliki
rumah tempat tinggal dan hidup sebagai pertapa. Sebelum secara penuh diterima
sebagai seorang bhikku, ia diharuskan untuk menjalani hidup sebagai calon
bhikkhu atau sementara dengan mengucapkan dan menepati “Dasa sila atau sepuluh
janji”, tekun mempelajari dharma, menggunakan waktu luangnya untuk perenungan
suci di bawah asuhan seseorang bhikku atau guru (acarya) yang dipilihnya
sendiri. Setelah ia dapat melakukan semua itu, maka ia diterima secara penuh
sebagai bhikkhu dalam suatu upacara penahbisan (upasampada) yang dihadiri oleh
para sesepuh (thera-thera).[9]
·
Kedudukan Sangha
Dalam sejarah agama Budha, sangha
dibentuk sendiri oleh Sang Budha beberapa minggu setelah ia mencapai
pencerahan. Anggotanya yang pertama adalah Kondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan
Asaji, yaitu murit-murit Sang Budha yang pertama kali. Di antara mereka,
Kondana adalah murit pertama yang mencapai tingkat Arahat.
Sangha adalah inti masyarakat Budha
yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup
tertinggi yaitu nitwana.
§ Sangha itu
tidak berkewajiban apapun terhadap umat Budha yang sifatnya lahiriah. Namun ada
hubungan rohaniah di mana para anggota Sangha merupakan:
-
Teladan cara hidup yang suci
-
Menyampaikan dharma atas permintaan umat
-
Membantu umat Budha dengan nasihat atau penerangan batin
dalam suka dan duka.
Sebaliknya dari
umat Budha lainnya para anggota Sangha patut menerima pemberian (ahu neyyo),
tempat berteduh (pahuneyyo), persembahan (dokkineyyo), penghormatan (anjali
karananiyo) dan sebagai tempat menanam jasa yang tidak ada taranya di dunia
(anuttaram panna khettam lokassaa)
§ Sangha tidak
dapat dipisahkan dari dharma dan Budha, oleh karena ketiganya adalah ‘Triratna’
yang membentuk kesatuan tunggal dan merupakan manifestasi dari tiga asas dari
Yang Mutlak di dunia. Hubungan ketiga unsur itu adalah:
-
Budha sebagai bulan purnama
-
Dharma sebagai sinar yang menerangi dunia
-
Sangha sebagai dunia yang bahagia menerima sinat itu.
Dengan
istilah lain,
-
Budha bagaikan orang yang membakar hutan
-
Dharma bagaikan api yang memebakar hutan (kekotoran batin),
-
Sangha bagaikan padi atau jasa setelah hutan habis dibakar.[10]
Referensi
·
Ali, Mukti H.A.,
Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988. Dasa Kausaly
Karma Sutra (Dharma Pitaka), Bogor- Jawabarat, 2008.
·
Hadikusuma, Hilman.,
Antropologi Agama I, Bandung: PT.Citra Aditiya Bakti, 1993.
·
Mahatera, Ven Narada.,
‘Sang Budha dan Ajaran-Ajarannya I, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992.
·
Stokes, Gillian., Seri
Siapa Dia? Budha, Jakarta: Erlangga, 2001.
·
T. Suwarto., Budha
Dharma Mahayana, Jakarta: Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia, 1995.
Ajaran Tentang Sangha
(Tingkat kesucian, kedudukan Sangha)
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Syarat
Pada Mata Kuliah Budiesme
Dosen Pembimbing : Ibu Hj. Siti Nadroh, MA
Oleh:
Mylinda Chairunissa (1111032100019)
Perbandingan
Agama _ A
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI (UIN)
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
Sangha adalah salah satu bagian dari Tri Ratna
(buddha, dhamma dan sangha), dimana Sangha adalah perhimpunan para bhikkhu. Kata Sangha bukan berarti semata-mata sebagai kelompok para bhikkhu, namun lebih berarti sebagai
para bhikkhu yang berkumpul
untuk menjalankan suatu tugas kegiatan tertentu.
[1] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra
Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 234
[2] Mukti Ali “Agama-Agama Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakatra)
hal.129-131
[3] Mahatera, Ven Narada., ‘Sang Budha dan Ajaran-Ajarannya I,
(Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992) Hal. 77.
[4] Gillian Stokes, “
Seri siapa Dia? Budha”, (Erlangga, Jakarta, 2001) hal 45-48.
[5] Drs. Suwarto T. “Budha Dharma Mahayana”. (Majelis Agama Budha
Mahayana Indonesia, Jakarta 1995) hal. 51
[6] http://sasanaonline.tripod.com/dhamma/salahpts.htm
[7] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra
Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 235-235
[9] Mukti Ali “Agama-Agama Dunia” (IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakatra).
Hal. 130-131
[10] Prof.H.Hilman Hadikusuma,S.H. “Antropologi Agama I” (PT.Citra
Aditiya Bakti, Bandung 1993) hal. 236-237
Tidak ada komentar:
Posting Komentar