Kamis, 06 Juni 2013

RESPONDING PAPER



Sejarah hidup buddha
Responding Paper ini dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme

Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag

Dissusun Oleh
Ahmad Sobiyanto           (1111032100027)





JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013



SEJARAH HIDUP BUDHA
I.          RIWAYAT SIDHARTA GAUTAMA
A.  Kehidupan Sang Buddha
1.    Kelahiran Bodhisattva
Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623 Sebelum Masehi di Taman Lumbini. Oleh para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala diramalkan bahwa Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi Seorang Buddha. Hanya pertapa Kondañña yang dengan pasti meramalkan bahwa
Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Sang Raja, para pertapa itu menjelaskan agar Sang Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, atau ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu adalah : 1. Orang tua, 2. Orang sakit, 3. Orang mati, 4. Seorang pertapa.[1]
Saat ia dilahirkan, bumi menjadi terang benderang, seberkas sinar sangat terang mengelilingi bodhisattva yang baru lahir itu.[2] Sesaat ia dilahirkan, Bodisattva berjalan tujuh langkah diatas tujuh kuntum bunga ke arah utara,[3]dengan jari telunjuk tangan kanan menunjuk kelangit, dan jari telunjuk tangan kiri menunjuk ke bumi, yang artinya Akulah teragung, pemimpin alam semesta, guru para dewa dan manusia. para dewa yang mendampingi menjatuhkan bunga dan air suci untuk memandikannya. Juga bersamaan waktu lahirnya, tumbuhlah pohon Bodhi.
Seisi alaam menyambutnya dengan suka cita karena telah lahir seorang Bodhisattva yang pada nantinya dia akan menjadi pemimpin alam semesta, gurunya para dewa dan manusia, mencapai Samyak Sam Buddha untuk mengakhiri penderitaan manusia dialam samsara ini.[4].
2.      Pada umur 12 tahun
Pangeran sidharta telah menguasi berbagai ilmu pengetahuan, ilmu taktik perang, sejarah, dan pancavidya, yaitu: sabda (bahasa dan sastra); silpakarmasthana (ilmu dan matematika); cikitsa (ramuan obat-obatan); hatri (logoka); adhyatma (filsafat agama). Dia juga menguasai Catur Veda rgveda(lagu-lagu pujian keagamaan): yajurveda (pujian untuk upacara sembahyang); athavarveda(mantra)
1.    Melihat Empat Peristiwa
Pada suatu hari pangeran mengunjungi Ayahnya dan berkata “Ayah, perkenankanlah aku berjalan-jalan keluar istana untuk melihat tata cara kehidupan penduduk yang kelak akan ku perintah”.
Karena permohonan ini wajar, maka Raja memberikan izin. tetapi sebelumnya kata Raja, aku harus membuat persiapan sehingga segala sesuatunya baik dan patut untuk menerima kedatangan anakku yang baik.[5]
Sekalipun sang raja sudah memerintahkan agar seluruh jalan yang akan dilalui putranya itu harus dibersihkan dari segala hal yang tidak menyenangkan namun dalam perjalanan itu Siddharta melihat seorang yang sudah tua sekali. Pandangan ini mengejutkan Siddharta.[6]pangeran terkesan sekali, karena hal ini baru pertama kali dilihatnya.
Channa menerangkan kepada pangeran, bahwa itulah keadaan seorang tua, tetapi bukan keadaannya sewaktu ia dilahirkan.
“ Sewaktu masih muda orang itu seperti kita dan karena sekarang ia sudah tua sekali maka keadaanya telah berubah seperti yang tuanku lihat. Sebaiknya tuanku lupakan saja orang tua itu. Setiap orang kalau sudah terlalu lama hidup di dunia akan menjadi seperti oarang tua itu, hal ini tidak dapat dielakkan.”[7]
Atas keterangan Channa ia tahu bahwa segala makhluk kelak akan menjadi tua seperti orang tua itu. Dengan wajah yang muram sekali Siddharta kembali keistana.[8]
Setelah persoalan ini dilaporkan kepada Raja, maka Raja menjadi sedih sekali dan ia merasa kuatir bahwa hal ini dapat menyebabkan pangeran meninggalkan istana.
Berselang beberapa hari pangeran kembali memohon kepada Raja agar diperkenankan melihat-lihat lagi kota Kapilavattu, tapi sekarang tanpa lebih dulu memberitahukannya kepada para penduduk.
Dengan berat hati Raja mengizinkan karena beliau tahu tidak ada gunanya melarang, sebab hal itu tentu akan membuat pangeran bersedih. Pada kesempatan ini pangeran pergi bersama-sama Channa dan berpakaian seperti anak kelurga Bangsawan, karen ia tidak ingin dikenal sewaktu sedang berjalan-jalan.
Pangeran memperhatikan orang-orang kecil yang sderhana dan semua orang kehilatannya sibuk sekali, bahagia dan senang dengan pekerjanya. Tetapi Pangeran juga melihat seorang yang sdeang merintih-rintih dan berguling-guling ditanah dengan kedua tangannya memegang perutnya. Dimuka dan badannya terdapat bercak-bercak berwarna ungu, matanya berputar-putar dan nafasnya mengap-mengap.
Untuk kedua kali dalam hidupnya Pangeran melihat sesuatu yang membuat beliau sangat sedih. Pangeran yang dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang dengan cepat menghampiri orang itu, mengangkatnya meletakkan kepalanya dipangkuannya dan dengan suara menghibur menanyakan: “mengapa engkau, engku mengapakah?” orang sakit itu sudah tidak adapat menjawab. Ia hanya menangis tersedu-sedu.
“ Channa, katakanlah mengapa orang ini? Apakah yang salah dengan nafasnya? Mengapa ia tidak bicara”?
“ O, Tuanku, jangan sentuh orang itu lama-lama. Orang itu sakit dn darahnya beracun. Ia diserang demam pes dan seluruh bdannya terasa terbakar. Oleh karena itulah ia merintih-rintih dan tidak lagi dapat bicara.”
“tetapi apakah ada orang lain yang seperti dia”? “Ada, dan Tuanku mungkin orangnya kalau Tuanku memegangnya seperti ini. Mohon dengan sangat agar Tuanku meletakkannya kembali ditanah dan jangan menyentuhnya lagi sebab sakit pes itu sangat meenular.”
“apakah tidak ada orang yang dapat menolongnya? Apakah semua orang dapat diserang penyakit? Apakah penyakit datang secara mendadak”?
“betul Tuanku, semua orang dalam dunia dapat terserang penyakit. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya dan itu dapat terjadi setiap saat.” Mendengar ini pangeran menjadi semakin sedih dan kembali ke istana untuk merenungi hal ini.
Berselang beberapa hari, Pangeran kembli memohon izin kepada Raja agar diperkenankan lagi melihat-lihat kota Kapilavatthu. Raja menyetujuinya karena beranggapan tidak ada gunanya lagi sekarang untuk melarang.
Pada kesempatan ini pangeran yang berpakaiaan sebagai anak seorang bangsawan dengan diiringi Channa berjalan-jalan kembli di kota Kapilavatthu. Tidak lama kemudian mereka berpapasan dengan serombongan orang yang sedang menangis mengikuti sebuah usungan yang dipikul oleh empat orang.
Diatas usungan itu berbaring seorang yang sudah kurus sekali dalam keadaan tidak bergerak. Kemudian rombongan membawa usungan itu ke tepi sebuah sungai dan meletakkannya diatas tumpukan kayu yang kemudian di nayalakannya. Orang itu tetap diam saja dan tidak bergerak meskipun apai telah membakarnya dari semua sudut.
Pangeran heran dan kaget sekali sehingga tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Pangeran berpikir bahwa sangat mengerikan keadaan yang disebut “mati” itu yang harus dialami oleh setiap orang, meskipun ia seorang Raja atau anak dari seorang Raja. Apakah benar tidak ada jalan untuk menghentikannya? Pangeran pulang dan dikamarnya ia merenungkan persoalan ini sepanjang hari.[9]
Pangeran kemudian memohon kembali kepada ayahnya untuk diperkenankan untuk keluar istana lagi untuk berwisata ke taman Lumbini. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun Putranya itu. Ditemani oleh Chnna, pangeran menuju taman Lumbini. Setelah sampai ditaman Lumbini dan ketika pangeran tengaah duduk menikmati taman tersebut, tampak olehnya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeranpun mendekati petapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itupun menjelaskan prihal dirinya.[10]
“ Pangeran yang mulia, aku ini seorang petapa, aku menjauhkan diri dari keduniawian, meninggalkan sanak keluarga untuk mencari obat agar orang tidak menjadi tua, sakit, dan mati. Selain dari itu aku tidak menginginkan hal-hal dan barang-barang duniawi.”
 Pangeran terkejut karena ternyata petapa ini mempunyai pikiran dan cita-cita yang sama dengan dirinya.
“O petapa suci, dimana obat itu harus dicari”?
“panngeran yang mulia, aku mencrinya dalam ketenangan dan kesunyian hutan-hutan yang lebat, jauh dari gangguan dan keramaian dunia. Sekarang maafkan, aku harus meneruskan perjalanan. Penerangan dan kebahagiaan sedang menunggu.”[11]
Sejak saat itu Siddharta ingin mengikuti kehidupan petapa itu. Ia mencari jalan bagaimana dapat meninggalkan kehidupannya yang mewah itu.[12]
Ketika pangeran Siddharta masih di dalam taman dan benaknya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang di utus oleh raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Mendengar kabar itu, Pangeran justru bersedih hati dan berujar : “ seorang beenggu telah terlahir bagiku”! kelahiran tersebut merupakan halangan karena ia mencintai keluarga dan anaknya yang baru saja dilahirkan. Mengetahui apa yang diutarakan Pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu “ Rahula” yang berarti “belenggu”.
B.     Sang Budha Mendapatkan Penerangan Tertinggi
1.      Pangern siddharta Meninggalkan istana
Sebelum meninggalkan istana , Pangeran telah memohon izin kepada ayahnya, tetapi Ayahnya berusaha mencegahnya, tetapi Ayahnya tidak dapat memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Pangeran kepadanya. Antara lain dikatakan oleh Pangeran, bahwa ia tidak akan jadi pergi, apabila ayahnya dapat memberikan kepadanya kemudaan yang kekal, kecantikan yang kekal, kesehatan yang kekal dan hidup yang kekal.[13]
Pangeran kemudian pergi kekamar Yasodhara untuk melihat istri dan anaknya sebelum pergi untuk bertapa. Istrinya sedang tidur nenyak dan memeluk bayinya.
Setelah sampai di luar kota Pangeran berhenti sejenak dan memutar kudanya untuk melihat kota Kapilavattu untuk terakhir kali (di tempat itu kemudian didirikan sebuah cetiya yang dinamakan Kanthakanivattana-cetiya).
Perjalanan diteruskan melintasi perbatasan negara Sakya, Koliya, Malla dan kemudian dengan satu kali loncatan menyebrangi sungai Anoma.[14]
2.      Penerangan Agung
Pada suatu malam di bulan Waisak ketika bukan purnama, ditepi sunagi Neranjara, ketika ia sedang menghentikan cipta dibawah pohon Assatta (pohon Boddhi) dengan duduk padmasana melakukan meditasi dengan mengatur pernapasannya, maka datanglah petunjuk kepadanya sehingga ia mendapatkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang meliputi hal berikut:
a.       Pubbenivasanussati, yaitu pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran kembali.
b.      Dibacakkhu, yaitu pengetahuan dari mata dewa dan mata batin,
c.       Cuti Upapatana, yaitu pengetahuan bahwa timbul dan hilangnya bentuk-bentuk kehidupan, bik atau buruk, bergantung pada prilaku masing-masing.
d.      Asvakkhayanana, pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan dan avidya, tentang menghilangkan ketidaktahuan
Dengan telah tercapainya penerangan tersebut maka Siddharta Gautama telah menjadi Buddha pada umur 35 tahun, ia telah menjadi ‘Accharya Manusia’ atau guru dari manusia.
C.       Sang Budha Mengajarkan Dharma
Setelah itu sang Buddha masih ragu-ragu untuk menyampaikan darmanya kepada orang lain, karena Dharmanya hanya dapat diterima orang arif bijaksana, maka ia pergi ke Banares untuk menemukan murid-muridnya. Pada mulanya para murid itu ragu, tetapi setelah melihat keagungan Buddha maka kelima muridnya bersedia kembali mengikuti ajarannya. Kepada mereka lalu diajarkan empat kesunyataan itu.
Peristiwa-peristiwa tersebut diatas sangat penting dalam agama Buddha, yang disebut “Dharmma Cakra Pravantana Sutra”, yaitu “pemutaran roda dharmma” yang selalu diperingati oleh para penganut agama Buddha. Begitu juga taman isi patana di Benares yang merupakan tempat asal mula kelahirana ajaran Buddha dan Sangha, apar pemula penganut ajaran Buddha, merupakan tempat suci bagi umat Buddha. Sejak peristiwa pemutaran Rodha dharma tersebut mulailah siddharta Goutama yang telah menjadi Buddha itu, menyebarkan ajaran diseluruh India mulai dari kota Rajagraha yang berpokok pada empat kebijakan kebenaran bahwa:
-           kehidupan manusia itu pada dasrnya tidak Bahagia
-          sebab-sebab tidak bahagia karena memikirkan kepentingan diri sendiri terbelengggu oleh nafsu,
-           pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan habis jika semua nafsu dan hasrat dapat ditiadaan, yang dalam ajaran Buddha adalah Nirwana,
-          Menimbng benar, berpikir benar, berbuat benar, mencari nafkah, berusaha yang benar, mengingat yang benar, meditasi yang benar,
Selama 45 tahun lamanya Buddha menyampaikan ajaran-ajaran, sehingga dari sekitar 60 orang anggota Sangha kemudian menjadi ribuan orang banyaknya, yang memerlukan banyak Wihara, pada akhirnya dalam umur 80 tahun wafat di kusiwara yang letaknya sekitar 180 KM dari kota Banares. Ia meninggal tanpa petunjuk siapa yang menjadi penerus, sehingga di kemudian hari ajaran terpecah menjadi dua golongan yaitu Teravadha  ( Hinayana ) dan Mahasangika (Mahayana).
                       



[1] Pandita S. Widyadharma, INTI SARI AGAMA BUDDHA, hal 1
[2] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal.7-8
[3] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.4
[4] Drs. Suwarto, Buddha Dharma Mahayana, (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), hal.8
[5] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 10
[6] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65
[7] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11
[8] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.65.

[9] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 11-14
[10] Forum Diskusi Agama Buddha, www.wihara.com. Di unduh pada Selasa 12 Maret 2013, pukul 12.33 WIB.
[11] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal.15-16
[12] Harun Hadiwijono, Agama Hindu Dan Buddha, (jakarta : PT BPK Gunung Mulia, cet. 17, 2010), hal.66


[13] A.G. Honig. Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 1997) hal.173
[14] Pandita.S.Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, (Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis NALANDA, 1979), hal. 19-20




A.    Pengertian Buddha, Dharma, dan Triratna
Buddha adalah seseorang yang telah mencapai penerangan atau pencerahan sempurna dan sadar akan kebenaran kosmos serta alam semesta. “Hyang Buddha’’ adalah seorang yang telah mencapai penerangan luhur, cakap dan bijak menuaikan karya-karya kebajikan dan memperoleh kebijkasanaan kebenaran mengenai nirvana serta mengumumkan doktrin sejati tentang kebebasan atau keselamatan kepada dunia semesta sebelum parinirvana.
Dharma adalah Hukum kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa saja mengenai agama Buddha, berhubungan dengan ajaran agama Buddha sebagai agama yang sempurna.
Dharma mengandung 4 (empat) makna utama:
1.      Doktrin
2.      Hak, keadilan, kebenaran
3.      Kondisi
4.      Barang yang kelihatan atau phenomena
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan  batin dan unsure-unsur agama, kebaktian, filosofis, psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susial, etika dan sebagianya.
·          Triratna
Seorang telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan Triratna (Skt) atau tiga mustika (Ind) yang berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang atau kebaktian didepan altar Hyang Buddha. Triratna secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusyuk sampai tiga kali atau disebut trisarana. Trisarana adalah sebagai berikut:
      Aku Berlindung kepada Buddha
      Aku Berlindung kepada Dharma
      Aku Berlindung kepada Sangha (ke-tiga nya diulang sampai tiga kali)
B.     Pengertian Sadha dan Panca Sadha
-          Kata Saddha ialah keyakinan atau kepercayaan-Benar (confident), suatu kepercayaan yang ditimbulkan oeh suatu yang nyata, dapat juga diartikan sebagai keyakinan, kepercayaan-Benar, keimanan dalam Bakti.
-          Panca Saddha (Lima Keyakinan umat Buddha)
1)     Keyakinan Terhadap Sang Hyang Adhi Buddha, Para Buddha
Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari Sunyata, kekosongan. Para umat Buddha di dunia telah memfokuskan pada tokoh Buddha atau Sidharta Gautama—seorang manusia yang menemukan bagaimana membawa pencerahan dari penderitaan dan keluar dari lingkaran hidup dan mati.
2)      Bhodisatwa dan arahat
-          Bhodisatwa
Bodhisatwa adalah orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yang akan menjadi Buddha.
-          Arahat
Permulaan agama Buddha menanamkan ide rangkap mengenai arhatva dan nirvana. Buddha Gautama mengajarkan kepada murid-muridnya yang pertama kai dengan khotbah enpat Kasunyataan Mulia dan Delapan jalan utama serta menekankan pada ketidak-kekalan dan tiada kepemilikan dari semua unsur pokok mengenai pribadi manusia. Para sisiwa ini dipanggil arahat, dan Buddha sendiri diuraikan sebagia seorang arhat. Konsepsi mengenai arahat dikembangkan dan diperinci secara perlahan-lahan oleh guru dan penggantinya. Jadi seorang arahat juga diharuskan menegerti formula mengenai duabelas nidanas (sebab-akibat). Dia ditetapkan sebagai seorang yang telah mencabut tiga asravas (asava = minuman keras, dosa, dan kesalahan dari keinginan akan rasa, suka akan yang ada, dan ketidak tahuan, dan juga tambahan ke-empat asrava mengenai pikiran yang spekulasi. Dia melatih tujuh faktor penerangan (shambojjhanga): kesadaran, penelitian, energi, kesenangan, ketenangan, konsentrasi, dan ketenangan hati.



A.    PENGERTIAN TRIPITAKA DAN SEJARAH PERKEMBANGANYA
Tripiṭaka (bahasa Pali: Tipiṭaka; bahasa Sanskerta: Tripiṭaka) merupakan istilah yang digunakan oleh berbagai sekte Buddhis untuk menggambarkan berbagai naskah kanon mereka.
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya.
Beberapa minggu setelah Buddha wafat, seorang Bikkhu tua yang tidak disiplin mengatakan perkataan yang membuat Maha Kasapa Thera memutusakan untuk mengadakan Pesamuan Agung (Konsili) di Rajagaha. Dengan bantuan Ajasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul guna mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dbabarkan dan berusaha menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Buddha, dipercaya mengulang kembali khutbah-khutbah Buddhadan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan).
-          Pada Pesamuan Agung yang pertama, seluruh ajaran Buddha dikumpulkan namun baru disampaikan dari generasi ke generasi.
-          Pesamuan Agung kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, dimana isi kitab itu diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat.
-          Pesamuan Agung ketiga diadakan di Pattaliputa abad ketiga sesudah sang Buddha Wafat dengan pemerintahan di bawah kaisar Asoka Wardhana yang memeluk Buddha yang mempunyai pengaruh dalam penyebaran Dhamma.
-          Pesamuan Agung ke-4 diadakan di Aluvihara (Sri Lanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya abad ke-enam sesudah Buddha wafat. Pada saat inilah kitab suci Tripitaka dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuannya adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.
-          Pesamuan Agung ke-5 diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Buddha wafat. Dengan bantuan Rajan Mindon dimana kitab ini diprasastikan 727 buah lempengan marmer di dekat bukit Manadalay.
-          Pesamuan Agung ke-6 diadakan di Rangoon dimana sejak saat itu dilakukan penerjemahan ke dalam beberapa bahasa barat.



RESPONDING PAPER TOPIK II
KEYAKINAN TERHADAP KASUNYATAAN
A.   Pengertian Hukum kasunyataan
Hukum Kesunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku disemua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu.
B.     Cattur Arya Saccani (empat kebenaran mulia)
1.      Derita atau penderitaan (dukha) ?
§  Penderitaan (Dukha) berarti juga: kesedihan, keluh kesah, sakit atau kesakitan, kesusahan, dan putus asa yang sering di alami oleh jasmani maupun batin kita
§  Dilahirkan, usia tua, sakit, meninggal adalah penderitaan
§  Berhubungan atau berkumpul dengan orang yang tidak disukai adalah penderitaan
2.      Asal-mula derita atau penderitaan (samudaya)
§  Idaman ini (trsna), yang menuju pada eksistensi yang diperbaharui, ditemani oleh nafsu keinginan rendah (tanha), yang menganbil kesenangan dalam berbagai obyek, dimana sebagai sebab dari kelahiran dan terlahir kembali (tumimbal lahir).
3.      Penghentian atau lenyapnya derita atau penderitaan (Nirodha)
·         Nirodha berarti lenyapnya penderitaan yang sama artinya dengan lenyapnya nafsu keinginan rendah (tanha) atau lenyapnya keinginan dari pikiran. Kalau tanha dapat disingkirkan, maka kita akan berada dalam keadaan berbahagia sekali, karena telah terbebas dari semua kekotoran batin yakni Loba, Dosa, dan Moha.
4.      Jalan menuju Lenyapnya atau Penghentian derita (marga)
·         Marga berarti jalan untuk melenyapkan penderitaan, yaitu 8 (delapan) jalan utama (Hasta Arya Marga):
a.       Pengertian yang benar (samyag-drsti) adalah suatu pengertian intelektual tentang empat kesunyataan utama atau kebenaran mulia, atau tentang kebenaran nyata dari kehidupan secara umum maupun secara sederhana, memiliki pengertian yang benar mengenai Budha Darma.
b.      Pikiran yang benar (samyag-samkalpa), pengertian lainnya adalah kehendak yang benar yang berarti bahwa mempunyai pikiran atau kehendak untuk membebaskan segala ikatan-ikatan Dukha (penderitaan).
c.       Berbicara yang benar (samyag-vak)
d.      Perbuatan yang benar (samyag-karmanta)
e.       Perbuatan yang benar (samyag-ajiva)
f.       Berusaha yang benar (samyag-vyayama)
g.      Perhatian yang benar (samyag-smrti)
h.      Konsentrasi yang benar (samyag-smrti)
C.     Hukum Karma dan Tumimbal Lahir, Tilakhana
Pengertian Kamma atau Karma
Kamma adalah term atau kata dalam bahasa Pali, yang mempunyai arti semua jenis kehendak atau maksud (action or doing) perbuatan, yang baik maupun yang  buruk, lahir atau pun batin dengan pikiran, ucapan dan tindakan.
D.    Tilakhana (Tiga Corak Umum;anicca,dukkha, anatta)
Tilakhana (tri-laksana) artinya Tiga Sifat Universal atau Tiga Corak Umum dari alam fenomena dan ini termasuk  Hukum Kesunyataan; Mengandung arti, hukum ini berlaku dimanapun dan kapanpun, tidak terikat oleh waktu dan tempat.
1.      Anicca, berarti tidak kekal, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terus menerus mengalami perubahan. Ketidak-kekalan (anicca) bukanlah suatu ajaran dalam agama Buddha yang direka-reka atau dibuat-buat, melainkan sudah jelas sekali dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena kemelakatan yang disebabkan oleh ketidak-tahuan (avijja), maka kita tidak mampu melihat kesunyataan.
2.      Dukkha atau penderitaan, merupakan corak yang khas dari semua kehidupan (samsara) yaitu tentang ketidaksempuranaan. Segala sesuatu yang tidak kekal menimbulkan penderitaan atau penderitaan itu terjadi karena adanya perubahan yang terus-menerus. Dukkha adalah sudah lazim mengikuti kesunyataan tentang anicca dan tidak terdapat sesuatu inti yang kekal, yang dapat kita pegang sebagai jasmani untuk memperoleh ketentraman dan kepuasaan.

Yang menimbulkan Dukkha menurut hukum Pattica-samuppada yaitu :
  1. Tanha diikuti oleh Upadana; Tanha adalah keinginan, kehausan atau kerinduan dan Upadana adalah yang melekat atau ikatan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
  2. Upadana diikuti oleh Bhava; Bhava adalah sesuatu yang terbentuk, maksud di sini adalah proses terbentuknya kehidupan. Adanya kelahiran kembali karena ada upadana atau ikatan di kehidupan sebelumnya (proses Kamma).
  3. Bhava diikuti oleh Jati, Jaramarana dsb; jika Bhava (proses kehidupan atau arus perwujudan) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia, tua, kematian, mengalami sukses dan kegagalan, harapan dan kekecewaan. Dengan demikian timbullah segala macam penderitaan.
1.      Anatta, yaitu tanpa-aku atau tidak ada suatu subtansi. Arti lainnya adalah bahwa segala sesuatu tidak mempunyai inti yang kekal abadi, atau tidak adanya existensi pribadi. Umat agama Buddha sendiri mengakui, bahwa kata anatta ini banyak menimbulkan perdebatan dan salah paham juga menyebabkan multi tafsir mengenai makna dari kata anatta.
E.     PATTICA SAMUPPADA
Paṭiccasamuppāda merujuk pada pemunculan (dan penghentian) yang saling berkaitan dari semua benda yang ada, yakni mereka muncul dan lenyap dikarenakan oleh sebab dan kondisi. Ini berarti semua benda yang ada adalah terkondisi dan tidak ada sesuatu apapun yang tidak berubah, kekal abadi. Secara khususnya, Paṭiccasamuppāda merujuk pada penderitaan, dan itulah tujuan utama dari khotbah-khotbah Sang Buddha yang membuat kita memahami penderitaan sebagai sifat alami dari segala keberadaan. Jadi diskusi dari Paṭiccasamuppāda dalam tulisan ini akan difokuskan pada Paṭiccasamuppāda tentang penderitaan (dukkha).
Rantai umum dari Paṭiccasamuppāda adalah rantai dari 12 mata rantai seperti yang ditunjukkan dalam tabel. Rantai tersebut dapat dibaca dengan 2 cara: 1) Samudaya – timbulnya penderitaan yakni timbulnya Avijjā mengkondisikan timbulnya Saṅkhāra; timbulnya Saṅkhāra mengkondisikan timbulnya Viññāṇa; …(dan seterusnya)… timbulnya Jāti mengkondisikan timbulnya Jarā-Maraṇa (keseluruhan massa penderitaan). Timbulnya penderitaan merupakan Kesunyataan Mulia Kedua dan berhubungan dengan Puthujjana (orang biasa). 2) Nirodha – lenyapnya penderitaan yakni lenyapnya Avijjā mengkondisikan lenyapnya Saṅkhāra; lenyapnya Saṅkhāra mengkondisikan lenyapnya Viññāṇa; …(dan seterusnya)… lenyapnya Jāti mengkondisikan lenyapnya Jarā-Maraṇa (keseluruhan massa penderitaan). Lenyapnya penderitaan merupakan Kesunyataan Mulia Ketiga dan berhubungan dengan Arahat, yang telah mengakhiri lingkaran kelahiran, penuaan dan kematian (keseluruhan massa penderitaan).

A.  VINAYA PITAKA, SUTTA PITAKA, ABIDHAMA PITAKA DAN BAGIAN-BAGIANNYA
1.      Vinaya Pittaka adalah bagian pertama dari tiga bagian Tripitaka, terdiri dengan peraturan-peraturan bagi para Bikkhu/ni yang terdiri dari:
-          Sutta Vibhanga
Bhikku Vibhanga berisi 227 peraturan, mencakup 8 jenis pelanggaran, 4 di antaranya menyebabkan dikeluarkannya bikkhu dari Sangha seumur hidup. Keempat hal tersebut; berhubungan seks, mencuri, membunuh atau merencanakannya pada manusia, dan berbohong telah mencapai kesucian. 
-          Khandhaka
Terdiri dari kitab Mahavagga (peraturan-peraturan) uraian tentang upacara pentahbisan Bikkhu dan sebagainya. Kitab Culavagga (peraturan-peraturan) untuk menangani pelanggaran-pelanggaran.
-          Parivara
Ialah ringkasan pengelompokkan peraturan-peraturan Vinaya disusun kembali dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
2.      Sutta Pitaka Adalah bagian kedua dari tiga bagian Tipitaka, yang terdiri lebih dari 10.000 sutta (ajaran) berisi khotbah-khotbah, dalog dan tanya jawab Buddha Gautama dengan para siswa, petapa, maupun orang lain.
Kitab ini terdiri atas lima 'kumpulan' (nikaya) atau buku, yaitu:
-       Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga.
-       Majjhimanikaya, merupakan buku kedua dari SuttaPitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah.
-       Angutaranikaya, merupakan buku ketiga dari SuttaPitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
-       Samyuttanikaya, merupakan buku keempat dari SuttaPitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
-       Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.
a.  Khuddakapatha, berisi empat teks: Saranattaya, Dasasikkhapada, Dvattimsakara, Kumarapañha, dan lima sutta : Mangala, Ratana, Tirokudda, Nidhikanda dan MettaSutta.
b. Dhammapada, terdiri atas 423 syair yang dibagi menjadi dua puluh enam vagga. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
c. Udana, merupakan kumpulan delapan puluh sutta, yang terbagi menjadi delapan vagga.
d. Itivuttaka, berisi 110 sutta, yang masing-masing dimulai dengan kata-kata : vuttamhetambhagava (demikianlah sabda Sang Bhagava).
e. SuttaNipata, terdiri atas lima vagga : Uraga, Cûla, Maha, Atthaka dan ParayanaVagga. Empat vagga pertama terdiri atas 54 prosa berirama, sedang vagga kelima terdiri atas enam belas sutta.
f. Vimanavatthu, menerangkan keagungan dari bermacam-macam alam deva, yang diperoleh melalui perbuatan-perbuatan berjasa.
g. Petavatthu, merupakan kumpulan cerita mengenai orang-orang yang lahir di alam Peta akibat dari perbuatan-perbuatan tidak baik.
h. Theragatha, kumpulan syair-syair, yang disusun oleh para Thera semasa hidup Sang Buddha
i. Therigatha, buku yang serupa dengan Theragatha yang merupakan kumpulan dari ucapan para Theri semasa hidup Sang Buddha.
j. Jataka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu. 
k. Niddesa, terbagi menjadi dua buku : Culla-Niddesa dan Maha-Niddesa.
l. Patisambhidamagga, berisi uraian skolastik tentang jalan untuk mencapai pengetahuan suci
m. Apadana, berisi riwayat hidup dari 547 bhikkhu, dan riwayat hidup dari 40 bhikkhuni, yang semuanya hidup pada masa Sang Buddha.
n. Buddhavamsa, terdiri atas syair-syair yang menceritakan kehidupan dari dua puluh lima Buddha, dan Buddha Gotama adalah yang paling akhir.
o. Cariyapitaka, berisi cerita-cerita mengenai kehidupan-kehidupan Sang Buddha yang terdahulu dalam bentuk syair, terutama menerangkan tentang 10 paramî yang dijalankan oleh Beliau sebelum mencapai Penerangan Sempurna, dan tiap-tiap cerita disebut Cariya.

a.    AbbidharmaPitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah kitab yang berisikan tentang uraian mengenai filsafat, metafisika dan ilmu jiwa Buddha Dhamma yang terdiri dari 4200 Dhammakhandha.
AbbidharmaPitakajuga berisi uraian filsafat Buddha-dharma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu jiwa, sastra, logika, etika, dan metafisika. Kitab ini terdiri dari 7 buah buku, yaitu: Dhammasangani, Vibhanga, Dathukatha, Puggalapannatti, Kathavatthu, Yamaka, dan Patthana. Berbeda dengan kitab Sutra Pitaka dan VinayaPitaka yang menggunakan bahasa naratif, sederhana dan mudah dimengerti umum, gaya bahasa kitab AbbidharmaPitaka bersifat sangat teknis dan analitis. Kitab ini terdiri atas tujuh buah buku (pakarana), yaitu :
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhajaniya, Abhidhannabhajaniya dan Pññapucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhatukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepsertisistimdalan Kitab AnguttaraNikaya. 
5. Kathavatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (katha) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika. 
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Ayatana, Dhatu, Sacca, Sankhara, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya. 
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).


Namun, selain pengelompokan diatas, kitab-kitab agama Buddha juga dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu kitab-kitab Sutra dan kitab-kitab Sastra. 




Budhisme di India
Ø  Masa Perkembangan Awal
Beberapa minggu setelah Buddha wafat, sekelompok Bhikkhu berusaha merubah aturan yang telah di tetapkannya karena terasa berat dilaksanakannya dan dipertahankan, sementara lainnya berusaha untuk memelihara kemurnian ajarannya dan memutuskan untuk mengadakan pasamuan menyangkut ajaran-ajaran (dharma) . Seratus tahun kemudian muncul pula sekelompok Bhikkhu yang menghendaki agar beberapa peraturan dari vinaya yang mereka anggap keras dan membosankan rubah dan diperlunak, diselenggarakan pasamuan agung kedua di Vesali. Kelompok yang ingin tetap mempertahankan kemurnian  vinaya (stavirada) berjumlah lebih kecil dari pada kelompok yang menginginkan perubahan-perubahan (Mahasanghika).
Ø  Masa Kekuasaan Raja Asoka
Agama Buddha berkembang menjadi agama yang berpengaruh  diseluruh India dan mempunyai peranan dalam berbagai bidang kehidupan ,baik sosial,kebudayaan,ekonomi maupun politik. Pembuatan piagam-piagam yang dipahatkan pada tugu-tugu batu atau lereng-lereng gunung yang ditandatanganinya, Dibawah kekuasaan raja Asoka ini pula diadakan pasamuan agung ketiga pada tahun 249 S.M. di Pataliputra ,yang dimaksudkan untuk meneliti kembali ajaran-ajaran Buddha. Diduga pasamuan ini hanya diikuti oleh golomgan Theravada saja karena kitab-kitab mahayana tidak menyebutkannya. Hal ini memperlihatkan bahwa pada waktu itu perpecahan antara kedua golongan tersebut sudah cukup besar dan meluas.
Dalam pasamuan agung keiga tersebut mulai tersusun kitab Abhidharma pitaka yang merupakan bagian dari Tripitaka, serta tersusunnya kitab Tripitaka sebagaimana yang dapat dilihat sekarang ini, sungguhpun belum dituliskan kedalam kitab-kitab dan masih dihafalkan saja. Menjelang pertemuan berakhir, atas anjuran raja Asoka, diputuskan untuk mengirimkan utusan- utusan ke berbagai negara untuk menyebarkan Dharma, antara lain kesiria,Mesir,Yunani  Macedonia, India belakang dan asia tenggara. Salah seorang utusan yang dikirim itu adalah Mahinda, putra raja Asoka sendiri, ke Srilangka yang hingga sekarang merupakan salah satu pusat agama Buddha yang penting diDunia.

Ø  Kemunduran Agama Budha di India
Serangan bangsa Hun Putih dari utara yang banyak menghancurkan pusat-pusat peribadatan agama Budha. Usaha untuk mengatasi kemunduran tersebut juga ada, seperti yang dilakukan oleh kaisar Harsya(606-647M), namun kemunduran itu agaknya sudah tidak dapat dicegah lagi.
Muncul kembali persaingan dengan agama Brahmana yang dimulai bangkit, setelah sempat terdesak oleh agama Budha untuk jangka waktu yang cukup lama. Akan tetapi, yang paling terparah dari semua itu adalah rusaknya kebatinan ajaran agama Budha dan perkembangan Islam yang mulai menyebarkan ajarannya ke timur sejak abad ke-8 M.
Aliran Theravada dan Mahayana lambat laun tersingkir dari tanah kelahirannya sendiri terutama karena peranan sangha yang cukup besar dalam penyebaran agama Budha selama ini menjadi jauh berkurang sejak abad ketujuh Masehi tersebut. Kemunduran peranan sangha ini antara lain disebabkan banyaknya unsur non-buddhis yang masuk ke dalam. Agama Budha, sehingga menyebabkan merosotnya penghargaan rakyat terhadap sangha dan mengakibatkan berkurangnya dana yang diterimanya.
Budhisme di Cina dan aliran-alirannya
Tidak di ketahui secara pasti kapan agama Budha masuk ke cina, namun pendapat yang umumnya diterima ialah pada permulaan dinasti Han, ketika kaisar Ming Ti (58-76 M) mengirimkan utusan ke India untuk meniliti agama Buddha. Perkembangan awal agama tersebut di Cina yang telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan karena mendapat perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli cina yang telah berkembang sebelumnya, seperti yang di ajarkan oleh konfusius, di samping ajaran dan filsafat Buddha dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangant bertentangan dengan alam pikiran cina yang praktis dan materialistik.
1.      Aliran Dhyana
Berikut ini penjelasan Dhyana :
-   Dhayana ke-1. Dia (yakni bodhisattva ) bebas dari kesenangan hawa nafsu dan keadaan pikiran yang buruk dan tercela, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke-1, yang timbul dari pengasingan, dan berhubungan dengan kesenengan dari kegembiraan, dan timbul dari penuh konsentrasi di dalam ketiadaan dari refleksi dan infestigasi.
-   Dhyana ke-2. Dengan penghentian dari refleksi dan investigasi, dia, tenang di hati, mengkonsentrasikan pikirannya pada satu titik, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke -2. Yang berhubungan dengan kesenangan dan kegembiraan, dan timbul dari penuh konsentrasi di dalam ketiadaan dari refleksi dan investigasi.
-   Dhyana ke-3. Setelah meninggalkan kemelekatan pada kesenangan, dia tetap hampir tidak berubah, sadar, dan memiliki dirinya sendiri berpengalamandalam tubuhnya kesenangan yang orang mulia menguraikan sebagai tinggal dalam ketenangan hati, kewaspadaan, dan kebahagiaan, memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke-3 dimana tanpa kesenangan.
-   Dhyana ke-4. Karena bebas dari sakit dan kesenengan dan hilangnya yang dulu mengenbai kegirangan hati dan kkecewaan, dia memperoleh dan tinggal dalam dhyana ke-4, dimana tidak sakit begitu juga senang, yang murni mutlak melalui ketenagnagn dan kewaspadaan.
-   Dhyana ke-5. Dia melebihi semua persepsi mengenai bentuk materi, melenyapkan persepsi akan daya tahan , tidak menaruh perhatian terhadap persepsi mengenai perbedaan, menyadari bahwa ruang adalah tidak terbatas dan memperoleh dan tinggal dalam ruang pola yang terbatas.
-   Dhyana ke-6. Kesadaran yang tidak terbatas. Dia melebihi semua ruang bola yang tak terbatas, menyadari bahwa kesadaran ialah tak terbatas memperoleh dan tinggal dalam bidang kesadaran yang tidak terbatas.
-   Dyhana ke-7.Alam dari tidak ada apa-apanya. Dia melebihi semua bidang kesadaran yang tak terbatas, menyadari bahwa tiada apa-apa memperoleh dan tinggal dalam ruang yang tiada apa-apa.
2.      Aliran cen yen
            I-tsing pada abad ke-7 tiba di Nalanda, beliau berusaha untuk memahammi aliran Tantra Mahayana ini. Kemudian pusat aliran Tantra Mahayan ini pindah ke India Timur sebagai pusatnya yakni di Universitas Vikramasiladari sekte Vajrayana, dari sana dibawa oleh Padmasambhava ke tibet yang kemudian berhubungan langsung dengan Lamaisma Tibet.
            Yogacara adalah nama sekte dari Mahayana yang diperkenalkan oleh asanga dan saudaranya vasubandhu. Doktrinnya dikenal sebagai Vijnanavada dan pengikutnya disebut Vijnanavadin. Pandangan yogacara juga berasal dari Madhyamika, yaitu vijnana (kesadaran) adalah nyata, sedangkan obyek kesadaran adalah tidak nyata, filsafat Madhyamika bahwa baik subyek maupun obyek kedua-duanya di dalam kesadaran adalah tidak nyata (realitas adalah sunyata bagi Madhyamika). Menurut yogacara kejadian dari ilusi menunjukan bahwa kesadaran dapat mempunyai isi tanpa adanya suatu hubungan obyek yang diluar pada kesadaran itu. Ini menunjukkan “Murti” sifata dasar yang dimiliki sendiri mengenai kesadaran, oelh akrena itu apa yang dinamakan obyek atau isi hasil dari kesadaran adalah hasil dari suatu perubahan kesadaran bagian dalam, salah satu karya Asanga adalah yogacara –bhumi Sastra.
3.      Aliran Vinaya
            Sekte Vinaya ini didirikan di Tiongkok pada waktu dinasti T’ang abad ke-6 oleh bhiksu Tao Hsuan. Sesuia dengan namanya, sekte ini sangat menitikberatkan pada kitab-kitab Vinaya. Sejak agama buddha masuk ke Tiongkok pada abad ke 1 M sampai dengan abad ke-4 M, belum semua kitab Viyana ada secara lengkap sebagai pedoman bagi para bhiksu di Tiongkok. Bhiksu Fa Hsien pergi ke India melalui jalan darat dengan berjalan kaki dan kembali ke Tiongkok melalui Srilanka dengan kapal laut (399-414 M) untuk mengambil kitab-kitab viyana.
Kitab- kitab suci Vinaya dalam bahasa sansekerta dijadikan sebagi pedoman mereka :
1.      Brahmajala Sutra (Fan Wang Ching) terjemahan Kumarajiva tahun 406 M sebagai kitab pedoman utama.
2.      Catuh Vinaya (empat disiplin) yaitu :
o   Mahasanghika Vinaya (Ta Seng Che Lu ) terjemahan Buddhabandra (405 M ) dalam bahasa mandarin sebanyak 40 jilid (Chuan)
o   Sarvastivada Vinaya (Se Th’ung Lu) terjemahan punyatara (404-406M) dalam bahasa mandarin sebanyak 61 jilid,
o   Dharmagupta Vinaya (She Fen Lu ) terjemahan Buddhayasa (405 M) dalam bahasa mandarin sebanyak 60 jilid,
o   Mahisaka Vinaya (U Pu Lu ) terjemahan Buddhajiva (423 M ) dalam bahasa Mandarin sebanyak 30 jilid.
            Pratimoksa dalam aliran Mahayana adalah berdasrakan Dharmagupta Vinaya (She Fen Lu) berisikan 250 pasal, dan disebut juga Vinaya empat bagian (She Fen Lu), sedangkan peraturan Bodhisattva Sila berdasarkan Brahmajala Sutra berisikan 58 pasal. Sekte Vinaya ini juga berkembang sampai ke Jepang dan korea. Tahun 754, bhiksu Ch’ien Chen datang ke Nara – jepang mengajarkan Vinaya kepada para bhiksu jepang. Sekte Vinaya ini adalah aliran Mahayan yang didirikan di Tiongkok.


KEYAKINAN TERHADAP NIBBANA
A.    Pengertian Nibbana dan sifat-sifatnya
Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Lantas, apakah Nibbana itu? Tidak mudah untuk mengetahui apa Nibbana itu sebenarnya; lebih mudah mengetahui apa yang bukan Nibbana.
Nibbana mempunyai pengertian khusus untuk menggambarkan akhir proses yang terjadi dalam diri manusia, yang berbeda dengan konsep sorga maupun neraka, ataupun arti yang identik dengan itu dalam agama Islam, Kristen, maupun Hindu. Radhakrishnan memberikan pengertian nibbana sebagai bebas dari kelahiran kembali, berakhirnya rantai kehidupan, paniadaan keinginan, dendam dan kebodohan teratasi, maka tercapailah nibbana yang mutlak.
Nibbana adalah suatu “keadaan”, seperti diajarkan oleh Sang Buddha, Nibbana adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap. Api menjadi padam karena kehabisan bahan bakar. Nibbana adalah padamnya keinginan, ikatan-ikatan, napsu-napsu, kekotoran-kekotoran bathin. Dengan demikian, Nibbana adalah Kasunyatan Abadi, tidak dilahirkan (na-uppado-pannayati), tidak termusnah (na vayo-pannayati), ada dan tidak berubah (nathitassannahattan-pannayati).
Nibbana adalah sebuah kondisi yang tidak dapat dibandingkan dengan yang lain dengan cara apapun. Nibbana tidak seperti kondisi keduniawian maupun manapun. Sebenarnya,  nibbana adalah negasi dari kondisi duniawi. Kita tidak dapat menciptakan nibbana karena nibbana melampaui semua sebab dan akibat, tetapi kita dapat menciptakan kondisi untuk merealisasikan nibbana, yang dinamakan segala tindakan yang menuntun kebebasan dari kotoran batin.
B.     Pengertian jalan menuju Nibbana
Jalan menuju ke Nibbana adalah jalan tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran nafsu yang menghalangi kemajuan moral.
Jalan untuk mencapai Nibbana
-          Sila artinya Tata hidup yang susila dan beradab
1.      Ucapan Benar (Samma Vacca)
Syarat-syarat Ucapan benar:
Ø  Kata-kata itu benar
Ø  Kata-kata itu beralasan
Ø  Kata-kata itu berfaedah
Ø  Kata-kata itu tepat pada waktunya
2.      Perbuatan Benar (Samma kammanta)
Untuk perbuatan benar duniawi (Lokiya Samma Vaca), yaitu:
Ø  Menghindari pembunuhan
Ø  Menghindari pencurian
Ø  Menghindari perjinahan
Untuk perbuatan benar luhur (Lokuttara Samma Vaca), yaitu: Tidak melakukan tiga perbuatan salah, dan berhubungan dengan jalan suci.
3.      Penghidupan atau Mata Pencaharian Benar (Samma ajiva)
Penghidupan benar adalah faktor sikap moral mengenai bagaimana kita mencari nafkah dalam masyarakat.
Untuk mata pencaharian duniawi, orang harus menghindari pencaharian salah dan melaksanankan mata pencaharian benar, yaitu:
Ø  Penipuan
Ø  Ketidaksetiaan
Ø  Penujuman
Ø  Kecurangan
Ø  Memungut bunga yang tinggi (praktek lintah darat).
Harus menghindari lima macam perdagangan:
Ø  Perdagangan alat-alat senjata
Ø  Berdagang mahluk hidup
Ø  Berdagang daging atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk-makhluk hidup
Ø  Berdagang minuman yang memabukkan, yang bisa menimbulkan ketagihan
Ø  Berdagang racun.
Untuk mata pencaharian benar luhur:
Tidak melaksanakan mata pencaharian yang salah, dan berhubungan dengan jalan suci..
-          Samadhi artinya Pembinaan diri/ mental
4.      Usaha/Daya Upaya Benar (Samma vayama)
5.      Perhatian Benar (Samma sati) atau ada juga yang menyebut dengan penyadaran benar
6.      Konsentrasi atau Meditasi Benar (Samma samadhi), atau dapat disebut dengan pengheningan benar.
-          Panna artinya Kebijaksanaan/ kebijaksanaan luhur
Untuk melenyapkan penderitaan, keinginanan harus diatasi dengan sempurna dan untuk selama-lamanya. Dan lenyapkan keinginnmu dengan menembus kebijaksanaan yang tertinggi, itu lah Panna yang meliputi:
7.      Pengertian Benar (Samma ditthi), atau dapat disebut juga dengan pandangan benar.
Pandangan benar dijelaskan sebagai mengetahui pengetahuan akan empat kebenaran mulia.
Pandangan benar ini adalah:
1.      Menembus empat kasunyatan
2.      Menembus tiga corak umum, ialah barang siapa menyelami, bahwa bentuk jasmani (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara) dan kesadaran (vinnana) adalah fana, terpengaruh oleh derita dan tanpa diri (anatta), dialah orangnya yang memiliki pandangan benar.
3.      Menembus pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan, ialah sesungguhnya.
8.      Pikiran Benar (Samma sankappa), atau disebut juga dengan perniatan benar.
Jika seseorang memiliki pandangan benar, ia mengembangkan perniatan benar juga. Faktor ini kadang-kadang disebut sebagai pemikiran benar, kehendak benar, atau gagasan benar.
Pikiran Benar atau Samma Sankappa adalah:
Untuk pikiran Benar Dunia (Lokkiya Samma Sankappa) adalah:
Ø  Pikiran yang bebas dari hawa nafsu (nekhama sankappa)
Ø  Pikiran yang bebas dari kebencian (avyapada sankappa)
Ø  Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsa sankappa) 




Meditasi dalam Buddhisme
Pengertian Meditasi
            Meditasi adalah membiasakan diri kita agar senantiasa mempunyai sikap yang positif, realistis, dan konstruktif. Dengan bermeditasi kita dapat membangun kebiasaan baik dari pikiran kita. Meditasi dilakukan dengan pikiran, artinya meskipun kita duduk dengan sikap sempurna, melaksanakan meditasi dalam waktu yang cukup lama, naming pikiran kita berlari kesana kemari dengan liar, dan memikirkan objek-objek kemelekatan, itu bukanlah meditasi.
Macam-macam Meditasi Budha
Meditasi Buddhis ada dua macam yakni,  sebagai berikut:
1.      Meditasi Samatha-Bhavana yakni meditasi untuk mencapai keterangan hidup. Dalam abad nuklir ini, dimana kehidupan terasa semakinkeras dan kompleks, memang sangat dibutuhkan meditasi samatha bhavana ini, untuk menghilangkan stress, frustasi dan untuk menciptakan ketenangan batin.
2.      Meditasi Vipassana-Bhavana, yakni mediatsi yang dapat membersihkan kekotoran bathin dan pikiran secara total, sehingga kita dapat mencapai pandangan terang.
Tujuan Meditasi
            Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju pada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak berkeliaran ke sana ke mari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan.
Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, seperti batu besar yang menekan rumput hingga tertudur di tanah. Denagn demikian Samatha, Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkatan konsentrasi yang disebut jhana-jhana, dan mencapai kekuatan batin.
Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan terakhir dari meditasi. Ketenangan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang atau Vipassana Bhavana.
Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandanga terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran bati dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkram oleh anicca (ketidakkekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal. Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju kea rah pengembangan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana.
Sesungguhnya dalam kitab suci telah ditulis bahwa "Hanya dengan pandanga terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak dengan jalan lain".
a.       Obyek
Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamanna, satu aharapatikulasanna, satu catudhatuvavattanha, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yang dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau empat satipatthana.
b.      Penghalang
Dalam melaksannakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintangan yang dapat menghambat perkembangan pandangan teran, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa.
Faedah Bhavana
1.        Membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan.
2.        menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan.
3.        Menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan
4.        Mendapatkan kepercayaan kepada diri sendiri bagi orang yang kurang percaya diri.
5.        Mendapatkan pengertian terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menybabkannya takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam fikirannya.
6.        Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan menolong dia untuk nengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi serta nilai-nilaiyang praktis dalam bimbingan agama.
7.        Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya.
8.        Bagi oarang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk pengertian tentang bahayanya sifat iri hati itu.




AJARAN TENTANG SANGHA
A.     Tingkat kesucian dan kedudukan Sangha
Sangha adalah bentuk masyarakat keagamaan yang terbuka bagi setiap umat untuk masuk dan bergabung ke dalamnya, dengan melalui tahap-tahab tertentu, baik pria ataupun wanita. Seseorang yang masuk dan bergabung ke dalam sangha berarti akan hidup dalam ‘Wihara’(biara) tanpa lagi memiliki rumah tempat kediaman dan hidup sebagai petapa.
1.      Sammuti Sangha = persaudaraan para Bhikkhu biasa, artinya yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian.
2.      Ariya Sangha = persaudaraan para Bhikkhu suci, artinya yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Tingkat kesucian yang mereka capai itu mulai dari:
·        Sotapatti (tingkat pertama) adalah di mana seseorang masih harus menjelma tujuh kali lagi sebelum sampai nirwana.
·        Sakadagami (tingkat kedua) adalah di mana seseorang itu harus menjelma sekali lagi sebelum mencapai nirwana.
·        Anagami (tingkat ketiga) adalah dimana seseorang tidak perlu lagi menjelma untuk mencapai nirwana, namun ia harus mematahkan belenggu ‘kamaraga’ (kecintaan indrawi), ‘pategha’ (kemarahan atau kebencian).
·        Arahat (tingkat keempat), di mana seseorang itu harus mematahkan belenggu:
- Keinginan untuk hidup dalam ruparaga (bentuk)
- Keinginan untuk hidup arupara (tanpa bentuk)
- Kecongkakan (mano)
- Kegoncangan batin (udaccha)
- Kekurangan kebijaksanaan (avijja)

B.     Kedudukan Sangha
Sangha itu tidak berkewajiban apapun terhadap umat Budha yang sifatnya lahiriah. Namun ada hubungan rohaniah di mana para anggota Sangha merupakan:
-         Teladan cara hidup yang suci
-         Menyampaikan dharma atas permintaan umat
-         Membantu umat Budha dengan nasihat atau penerangan batin dalam suka dan  duka.
-         Sangha tidak dapat dipisahkan dari dharma dan Budha, oleh karena ketiganya adalah ‘Triratna’
C.     Cara dan Persyaratan untuk menjadi seorang Bhikku atau Bhikkuni
Bhikku atau Bhikkuni adalah seorang yang kehidupannya sudah tidak lagi mencampuri urusan duniawi, telah mejalani kehidupan suci dan patuh serta setia mengayati dean menhamalkan Budha Dharma, patuh menjalankan pratomoksa (sila-sila untuk para Bhikku dan Bhikkuni) terdapat dalam buku Budha Mahayana yakni Paccimovada Pari Nirvana Sutra terjemahan oleh Kumarajiva
Seorang yang mengikuti persaudaraan para Bhikku atau Bhikkuni, untuk pertama kalinya akan menerima ‘jubah kuning, terlebih dahulu menjadi calon ‘semantara’ dengan menepati sepuluh janji(dasa sila), tekun mempelajari Dharma, dan menggunakan waktu luangnya untuk perenungan suci dibawah asuhan seorang Bhikku atau Bhikkuni sebagai gurunya (acarya) yang dipilihnya sendiri. Setelah selesai melaksanakan semua itu, maka barulah  ia diterima sepenuhnya menjadi Bhikku dalam suatu upacara ‘upasampada’ (penahbisan)yang dihari oleh para sepupuh atau Thera. Jika ia wanita maka pentahbisannya dilakukan dua kali, pertama oleh Bhikku dan kemudian oleh Bhikku Sangha. Setelah itu, barulah ia menjdi Bhikku atau Bhikkuni.
Sesudah menjadi Bhikku atau Bhikkuni maka ia harus menjalani hidup bersih dan suci sebagaimana ditentukan dalam ‘Vinaya Pitaka’, yaitu melaksnakan 227 peraturan yan antara lain tentang :
1.      Paraturan tata-tertib lahiriah,
2.      Peraturan cara menggunakan pakaian, makanan dan kebetuhan hidup lainnya,
3.      Cara menanggulangi nafsu keinginan dan rangsangan batin,
4.      Cara memperoleh pengetahuan batin yang luhur untuk penyempurnaan diri.
D.    Kelompok Awam Buddha
Secara kelembagaan, umat Buddha dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat awam. Kelompok pertama terdiri dari para Bhikkhu, Bhikkhuni, samanera dan samaneri. Mereka menjalani kehidupan suci untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan serta tidak menjalani hidup keluarga.
Kaum awam, ialah yang mengakui Buddha sebagai pemimpin keagamaanya dan tetap hidup di dalam masyarakat dengan berkeluarga. Pada hakekatnya para kaum awam tidak dapat mencapai nirwana. Sekalipun demikian kedudukan mereka adalah sangat penting, mereka sudah bverada pada awal jalan yang menuju kepada kelepasan.
Pada umumnya yang dimaksud dengan umat Budha yang awam terdiri dari orang-orang yang telah mengakui Sang Budha sebagai pemimpin dan gurunya, mengakui dan meyakini kebenaran ajaran Budha serta berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan ajarannya. Mereka yang mengakui keagamaan Budha ini disebut Upasaka dan Upasaki.
Pengakuan terhadap agama Budha tersebut dinyatakan dengan niat dan tekad untuk berlindung kepada Budha, Dharma dan Sangha dengan mengucapkan ‘Trisarana’ yang berbunyi:
‘Buddhang Saranang Gacchani, Dhammang Saranang Gacchani, Sanghang sarang Gacchani’.
Artinya : ‘Saya berlindung kepada Budha, saya berlindung kepada Dharma, saya berlindung kepada Sangha’.
Setelah mengucapkan Trisarana tersebut seorang Upasaka atau Upasaki terikat secara Rohaniah untuk melaksanakan dan mengamalkan ajaran Sang Budha dalam kehidupannya sehari-hari.
Dilihat dari tingkatan pemahaman seseorang terhadap ajaran Budha dan tanggung jawab keagamaannya, maka kelompok masyarakat Budha Awami ini dapat dibedakan sebagai berikut :
1.      Upasaka dan Upasaki yang benar-benar awam keagamaannya.
2.      Yang disebut Bala Anupandita, Anu Pandita  dan Pandita adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai penyebar dharma dan bergabung dalam organisasi umat Budha.
3.      Maha Upasaka, ialah para pandita yang mengurus administrasi dan soal-soal teknis.
4.      Maha Pandita adalah para Pandita yang mengurus khusus masalah keagamaan.
5.      Anagarika adalah orang awam Budha yang diakui memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mengamalkan ajaran Budha Gautama.




Buddhisme di Korea dan Thailand
Buddhisme di Korea pertama kali diperkenalkan ke Korea dari Cina pada masa kerajaan Goguryeo pada tahun 372. Setelah itu, pada tahun 384, seorang biksu dari India yang melewati Cina Selatan memperkenalkan agama Buddha ke kerajaan Baekje. Di kerajaan Silla, agama Buddha mulai diintroduksikan oleh seorang biksu Goguryeo pada tahun 527 dan mulai menyebar dengan pesat sehingga berbenturan dengan kepercayaan tradisional rakyatnya. Pada awal abad ke-6, Silla mulai mengadopsi Buddhisme sebagai agama negara berkat seorang martir bernama Yi Cha-don. Agama Buddha tidak hanya dianut oleh masyarakat banyak, namun raja dan bangsawan Silla serta Baekje menjadi pengikut Buddhisme.
Agama Buddha berkembang di Siam (sekarang disebut Thailand) sudah sejak awal abad pertama atau kedua Masehi. Hal ini diketahui berdasarkan hasil penggalian arkeologi di Phra Pathom (kira-kira 50 kilometer sebelah barat Bangkok) dan Pong Tuk (sebelah barat Phra Pathom) berupa rupaṁ Buddha serta lambang agama Buddha yaitu dhammacakka.
Selain itu, juga dijumpai reruntuhan bangunan serta pahatan bagus yang oleh para ahli diduga berasal dari pengaruh jaman Gupta (India) serta diduga merupakan peninggalan dari Dvaravati. Dvaravati adalah suatu kerajaan yang makmur pada jaman Huang Tsang, yaitu bagian pertama abad ke-7 M.
Pada abad ke-8 atau 9, Thailand dan Laos secara politis merupakan bagian dari Kamboja serta dipengaruhi oleh keadaan kehidupan beragama dari kerajaan Kamboja, dimana agama Brahmana dan agama Buddha hidup berdampingan. Pada pertengahan abad ke-13, terjadi perubahan politik sehingga Thailand yang menguasai seluruh wilayah Thailand dan Laos serta mengakhiri supremasi politik Kamboja di wilayah tersebut. Di bawah penguasaan Thailand, agama Buddha Theravāda dan bahasa PāỊi kembali berjaya di Thailand dan Laos.
Raja Thailand, Sri Suryavamsa Rama Maha Dharmikarajadhiraja, bukan hanya sebagai seorang penguasa yang mendorong pengembangan agama Buddha, tetapi beliau juga adalah seorang bhikkhu yang aktif menyebarkan Dhamma ke seluruh negeri. Pada tahun 1361, Raja Thailand mengirim sejumlah bhikkhu dan ācariya ke Ceylon serta mengundang Mahasami Sangharaja dari Ceylon untuk berkunjung ke Thailand. Atas prakarsa dan kegiatan raja, maka agama Buddha dan bahasa PāỊi berkembang luas mencakup kerajaan-kerajaan kecil Hindu di wilayah Laos seperti Alavirastra, Khmerrastra, Suvarnagrama, Unmargasila, Yonakarastra, dan Haripunjaya. Sejak saat itu, agama Buddha mulai menyebar dan agama Hindu mulai memudar.
Meskipun Thailand mendapatkan pengaruh agama Buddha yang mendalam dari Cyelon, namun hal tersebut telah dibayar kembali oleh Thailand, dimana raja Thailand mengirimkan rupaṁ Buddha dari emas dan perak, salinan kitab-kitab suci agama Buddha serta sejumlah bhikkhu ke Ceylon. Dari peristiwa tersebut, dapat diartikan bahwa pada waktu itu Ceylon mengakui Thailand sebagai negeri yang memiliki agama Buddha dalam wujud yang murni.
Pada masa pemerintahan raja Rama I (1789) telah ditulis sebuah kitab tentang sejarah pembacaan kitab suci (History of Recitals) oleh seorang bhikkhu dari kerajaan, yaitu Somdej Phra vanarat (Bhadanta Vanaratana). Dalam kitab tersebut, Bhikkhu Bhadanta Vanaratana menyebutkan sembilan Saṅghayāna dalam agama Buddha (Theravāda). Sidang saṅgha tersebut diselenggarakan tiga kali di India ( tiga sidang yang pertama), empat kali di Ceylon (sidang yang ke-4, 5, 6, dan 7) serta dua kali di Thailand (sidang yang ke-8 dan 9).
Saṅghayāna ke-8 di Thailand berlangsung pada masa pemerintahan Raja Sridharmacakravarti Tilaka Rajadhiraja, penguasa Thailand bagian utara, diselenggarakan di Vihāra Mahābodhi Ārāma, Chiengmai, selama satu tahun penuh antara tahun 1457 dan tahun 1483, sedangkan Saṅghayāna ke-9 (menurut versi Thailand) berlangsung pada tahun 1788 setelah terjadi perang antara Thailand dengan negeri tetangganya. Dalam peperangan tersebut ibukota Ayuthia (Ayodhya) hancur terbakar, banyak kitab dan kitab suci Tipiṭaka telah menjadi abu. Raja Rama I dan saudaranya sangat prihatin atas keadaan saṅgha. Dan setelah mendengar pendapat para bhikkhu, kemudian diselenggarakan Sidang Saṅgha (Saṅghayāna) yang dihadiri oleh 218 Thera dan 32 Ācariya dan selama satu tahun membacakan kembali kitab suci Tipiṭaka. Selama dan sesudah Sidang Saṅgha, dilakukan rehabilitasi bangunan vihāra dan pagoda, serta dibangun juga bangunan-bangunan baru.











Buddisme di Jepang dan Aliran-Aliranya
Agama Buddha masuk ke Jepang diperkirakan pada abad ke-6. ketika sebuah kerajaan kecil di Korea mengirimkan sebuah delegasi kepada Kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha. Suku Soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan mereka, terutama para dewa mereka.
A.    Aliran Zen
Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen berasal dari bahasa Jepang.Sedangkan bahasa Sansekerta nya, Dhyana.Di Cina dikenal sebagai Chan yang berarti meditasi.Aliran Zen memberikan fokus pada meditasi untuk mencapai penerangan atau kesempurnaan. Aliran Zen dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal dari India dan meninggalkan negaranya menuju ke tiongkok, lalu berdiam di kanton pada tahun 520 M Bodhidarma itulah yang menjadi Imam pertama di tiongkok. Aliran Zen asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng.Setelah itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.
Aliran Chan / Zen itu bersikap agak bebas terhadap mempelajari berbagai Mahayana-Sutras, tidak hendak mengikatkan diri kepada Sutras tertentu.Begitupula terhadap berbagai aliran filsafat dan theogoni didalam madzhab Mahayana.Bahkan tidak hendak memperbincangkannya secara serius.Aliran ini lebih mengutamakan pendekatan secara kerohanian (intuitif) untuk mencapai kesadaran tertinggi.
Titik berat ajaran ini lebih mengutamakan disiplin, yakni : ketaatan dan kidmat yang sepenuh-penuhnya kepada sang guru, Cuma sang guru saja resmi dan pasti dapat menuntun seseorang murid kepada pencerahan dan kebenaran, guna mencapai kepribadian-Budha. Karena aliran ini berkeyakinan bahwa kepribadian Budha itu hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui renungan di dalam Samadhi, maka kepribadian-Budha itu dapat dilihat. Samadi yang dilakukan terbagi menjadi dua yaitu :
§  Tathagatha-Meditation, yaitu cara Samadhi dari Buddha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
§  Patriarchal-Meditation, yaitu cara Samadhi yang diajarkan Patriarch Bodhidharma, yaitu meniadakan pikiran dan memusatkan kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.
Menurut aliran ini, bukanlah dengan kepercayaan yang dapat membawa manusia identik dengan Budha, melainkan dengan tafakkur yang dalam.Aliran ini berfaham Pantheistis (kesatuan dewa dengan alam semesta).Manusia dapat menjadi identik (sama) dengan Budha bilamana ia melakukan Meditasi yang dalam berdasarkan intuisi. Meditasi demikian kemudian dipengaruhi oleh Taoisme. Meditasi adalah latihan yang diterima secar universal oleh semua filsuf, orang suci, dan petapa India dan Budha tidak memiliki alasan untuk menolaknya.Sebenarnya praktik meditasi merupakan salah satu ciri kebudayaan moral di Timur.
Dalam perkembangannya, Zen di Jepang terbagi dalam aliran Soto Zen dan Rinzai Zen. Aliran Soto mengembangkan ajaran pencerahan yang hening.Ciri aliran ini adalah ketenangan, menekankan kerja dalam keheningan serta kepatuhan. Metode yang dilakukan untuk mencapai ketenangan adalah melalui Za-zen, yaitu meditasi dalam posisi duduk bersila.
Aliran Rinzai berusaha mencapai penerangan dengan menggunakan penerangan cara Koan dan Mondo. Koan dan Mondo merupakan usaha untuk mencapai penerangan secara aktif.Aliran ini sifatnya lebih dinamis dan aktif dibanding aliran Zen. Koan adalah suatu problem semacam teka-teki, kecuali untuk pikiran yang sadar koan biasanya terdiri dari satu kata atau frasa tanpa arti, atau sebyah pernyataan yang tampaknya nonsense dari sudut pandang umum.Namun koan bertindak sejenis cantelan yang dengan itu pikiran dapat terkait sendiri sejenis cantelan yang dengan itu pikiran dapat terkait sendiri sehingga dapat menyisihkan pemikiran-pemukiran yang ngawur dan pertimbangan-pertimbangan intelektual. Contoh-contoh koan yang diberikan kepada para pemula adalah Mu, yang secara literal berarti “tidak ada apa-apa”, Sekishu, yang berarti “suara satu tangan”, soku shin souk butsu, artinya “satu pikiran, satu budha” Honrai-nomemmoku “bagaimana wujud aslimu sebelum ayah dan ibumu memperanakkan kamu?” dan Nanimono ka immoni kitaru?, yang berarti “darimana Anda datang?”
2.      Aliran Amida
Sekte Amida, atau sering disebut dengan nama ‘Tanah Suci’, mengemukakan ajaran keselamatan dengan cara mempercayai Buddha secara mutlak dan menyebut Amida, seseorang yang akan mendapat keselamatan. Objek pemujaannya adalah patung Amida Buddha serta dilengkapi dengan patung Bodhisatwa Kwan On dan patung Deiseishi.
Kita mengenal adanya Amitabha Buddha berdasarkan sabda Sakyamuni Buddha yang tercatat didalam beberapa kitab suci, antara lain : Amitayurdhyana Sutra, Maha Sukkhavativyuha Sutra, Sukhavativyuha Sutra, dan sutra-sutra lainnya. Ketiga sutra ini adalah sutra pokok bagi agama Buddha Mahayana aliran Tanah Suci (Pure Land).
Amitabha/Amitayus Amita Buddha mengandung falsafah beliau yang telah mengatasi ruang dan waktu, juga merupakan lambang dari cinta kasih, berkah karunia dan kebijaksanaan yang tak terbatas. Didalam Maha Sukhavativyuha Sutra dikatakan bahwa sebelum menjadi Buddha Amitabha, dulunya beliau adalah seorang bhiksu bernama Bhiksu Dharmakara, yang hidup dijaman Buddha Loke vara-raja, dimana Bhiksu Dharmakara telah mengikrarkan 48 prasetya agung/janji suci tentang negeri Buddha-Nya yang akan terwujud apabila Dia mencapai penerahan sempurna (Amuttara Samyaksambodhi).
3.      Aliran Nichiren Sozu
            Agama Buddha menyebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea lalu masuk ke Jepang. Berbeda dengan agama lain, agama Buddha sangat terbuka alias terus terang mengungkapkan dasar pokok pendirian sektenya, atau alasan Buddhaloginya. Dalam terminologi buddhisme dinamakan dasar sutra. Sutra adalah catatan tertulis dari ajaran sang Buddha Sakyamuni, dan jumlahnya mencapai puluhan ribu buah. Secara logika tentunya teramat sulit untuk mengetahui apa lagi memahami dan menguasai semua sutra-sutra itu. Sehingga secara aktual penganut awan Buddhisme biasanya mengacu kepada Bhikku sebagai guru dharma pribadi masing-masing. Setelah Sang Buddha Sakyamuni meninggal, Air Dharma diwariskan kepada Ananda, dan Ananda mewariskan kepada penerus-penerus berikutnya antara lain Nagarjuna, Vashubandu, Tien Tai, Dengyo dan seterusnya. Kalau dilihat dari dasar buddhalogi, Nichiren Shoshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, serta Sastra Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, karya maha guru Tien Tai, maha guru Mio Lo, maha guru Dengyo.

Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka beliau berkesimpulan hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan sebagai ajaran terpokok dari Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sejak itu beliau menyebut diri Nichiren.

Yang bertujuan untuk mengembalikan ajaran Budha kepada bentuk yang murni yang akan menjadikannya dasar bagi perbaikan masyarakat jepang, dan menolak ritualisme dan sintementalisme aliran tanah suci, melawan semua kesalahan, agresif, patriotis tetapi eksklusif



ALIRAN MAHAYANA DAN HINAYANA
A.    Aliran Hanayana
Mahayana merupakan Aliran Buddha yang memperkenalkan unsur mistik dan kemungkinan semua orang dapat menikmati nirvana yang utuh dan para Penganut aliran Mahayana mengembangkan sebuah anggapan bahwa ajaran mereka lebih meluas, superior dan memiliki doktrin yang lebih tinggi dari pada Hinayan.
 Mahayana terdiri dari dua kata yakni maha (besar) dan yana (kendaraan), jadi secara etimologis berarti kendaraan besar. Ide maha merujuk pada tujuan religius seorang buddhis yaitu menjadi Bodhisatva Samasamboddhi (Buddha sempurna). Bagi pengikut Mahayana  diyakini, bahwa setiap umat Budha hanya dapat mecapai Nirwana kalau mendapat bantuan para orang suci yang telah mendahului mereka dan lelah menempati kedudukan baik di nirwana tersebut. Sutra Teratai merupakan rujukan sampingan penganut Buddha aliran Mahayana. Tokoh Kwan Im yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara" merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran.
B.     Aliran Hinayana
Kata hiinayaana berasal dari 2 kata, yaitu ”hiina” dan ”yana”. Kata ”yana” berarti kendaraan, tidak ada yang berselisih paham mengenai kata ini. Sedangkan beberapa orang mengatakan kata ”hiina” adalah lawan dari kata ”maha”, juga memiliki dua arti yaitu ”kualitas rendah” dan ”kuantitas sedikit”, “kapasitas sedikit”, ”kapasitas kecil”, jadi artinya mengalami distorsi dari ”kualitas rendah/buruk” menjadi ”kuantitas sedikit”, “kendaraan kapasitas rendah”.
Di mulai pada Sidang Agung Sangha ke-2 dimana Buddhisme terbagi menjadi 2:
-          Kelompok yang ingin perubahan beberapa peraturan minor dalam Vinaya, Mahasanghika yang merupakan cikal bakal Mahayana
-           Kelompok  yang mempertahankan Vinaya apa adanya. Kelompok yang ingin perubahan Vinaya, disebut Sthaviravada.Sidang Agung Sangha ke-3 (abad ke-3 SM), Sidang ini hanya diikuti oleh kelompok Sthaviravada.
Perbedaan dan persamaan
          Perbedaan lain antara Mahayana dan Hinayana adalah sebagai berikut:
  1. Mahayana menganggap Buddha Gotama adalah guru yang merupakan manifestasi dari proyeksi yang absolut, sedangkan dalam Theravada/Hinayana beliau dianggap sebagai manusia normal yang mempunyai kekuatan lebih. Mahayana memandang Buddha adalah transenden, mutlak, dan dipuja sangat tinggi dalam Hinayana Buddha dipuja layaknya seorang guru yang membimbing ke kesucian tidak dilebih-lebihkan.
  2. Nibbana hanya dapat dicapai oleh usaha sendiri. Mahayana percaya bahwa nibbana dapat tercapai melalui bantuan orang luar.
  3. Menurut Hinayana Nibbana adalah tujuan tertinggi dari seseorang sedangkan Mahayana memandang kehidupan sebagai Bodhisatva adalah tujuan yang yang harus dilalui sebelum mencapai Kebuddhaan.
persamaan yang mencolok di antara ajaran itu adalah sebagai sama-sama mengakui Buddha Sakyamuni sebagai guru agung yang telah tercerahkan, bersumber pada kitab Suci Tipitaka (Pali=Hinayana) atau Tripitaka (Sanskrit=Mahayana), mengakui bahwa keberadaan suatu individu adalah penderitaan dan menginginkan terbebas dari penderitaan  dengan melenyapkan Lobha/raga, dosa/dvesa dan Moha, mengakui hukum karma/kamma, kelahiran kembali, hukum sebab-musabab yang saling bergantungnan, mengakui Empat Kesunyataan Mulia, anicca/ksanika, dukkha/santana, dan anatta/anatmakam, 37 Bodhipaksyadhamma/ Bodhipakiyadhamma



Aliran Tantrayana
Fase ketiga dari perkembangan Agama Budha ialah Tantrayana (Fase pertama ialah Hinayana, dan fase kedua adalah Mahayana), dan merupakan fase yang paling penting dalam agama Budha di india. Fase ini mulai sekitar tahun 500 Masehi. Dan berakhir sampai tahun 1000 Masehi. Yang paling menarik dari fase ini adalah cosmical-soteriogical (yang berhubungan dengan keselamatan). Sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism (kegaiban). Penekanan utama adalah penyesuaian dan harmonis dengan kosmos dan pencapaian penerangan dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya kebanyakan Sansekerta atau Apabhramsa.
Aliran Mantrayana
            Mantrayana, dimulai pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang telah dilakukannya telah memperkaya Budhism dengan perlengkapan tradisi gaib, mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau penerangan. Didalam acara ini, banyak mantra, mudra, mandala, dewa dan ke Tuhanan secara tidak sistematis di perkenalkan ke dalam Budhism. Ini adalah setelah tahun 750, dalam kurun waktu itu, arah dan sistem yang lebih lanjut membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa di antara mereka adalah Sahajayana, yang mula seperti sekte Chan (Zen) di Tiongkok, lebih menekankan pada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, di ajarkan secara berbelit-belit atau paradoksikal (berlawanan asas) dan kesan konkrit, dan menghindari nasib dari kembali ke dalam suatu persektean sama sekali tidak ada ajaran yang di tegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini, dalam abad ke-10, kita mempunyai Kalacakrayana (Roda waktu yang ditandai oleh tingkat penyatuan aliran) dan oleh penekanannya pada Astrology.
Ajaran Vajrayana
            Dalam ajaran Vajrayana yang berkembang di Tibet, kosmos di jelaskan alam kaitan mata angin : pusat, timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteric di wakili oleh unsure-unsur yang berpasangan yang diwujudkan dalam bentuk Tathaga Wairocana yang melambangkan ketidak-tahun (avidya) dan kebingungan (moham) serta sifat kebalikannya. Mandala di timur diwakili Tathagata Aksobhya yang melambangkan sifat agresif dan kebencian (dwesa) dan kebalikannya yaitu sifat kebijaksanaan cermin yang mencerminkan segala-galanya secara tenang. Mandala di selatan diwakili oleh Tathagata Ratnasambhva melambangkan sifat mengabulkan semua keinginan dan rasa bangga serta sifat lawannya yaitu ketenangan hati. Mandala di barat diwakili oleh Tathagata Amithaba melambangkan sifat keinginan besar (lobham) dan sifat kebalikannya. Sedangkan Mandala di utara diwakili oleh Tathagata Amoghasiddhi yang melambangkan sifat iri hati dan sifat kebalikannya.
Ritual dan Praktek
-          Tantrayana
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran.
Dengan suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.

-          Mantrayana
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
Langkah pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni
§  Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
§  Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.

Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa sansekerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku kata yang berfungsi sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan magis dan melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk agung lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran tetap terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur). Sad Paramita terdiri dari :
§  Dana Paramita: Perbuatan luhur tentang amal secara materi maupun spiritual.
§  Sila Paramita: Perbuatan luhur tentang kehidupan bersusila.
§  Kshanti Paramita: Perbuatan luhur yang dapat menahan segala macam penderitaan.
§  Virya Paramita: Perbuatan luhur mengenai keuletan dan ketabahan.
§  Dhyana Paramita: Perbuatan luhur mengenai pemusatan pikiran (samadhi/meditasi).
§  Prajna Paramita: Perbuatan luhur mengenai kebijaksanaan.

-          Vajrayana
Dalam ajaran Vajrayana  yang berkembang di tibet,  kosmos di jelaskan alam kaitan mata angin: pusat, timur, selatan, barat dan utara, yang secara esoteris  di waliki oleh unsur-unsur yang berpasangan yang di wujudkan dalam bentuk tathaga pasanganya.
Dalam Vajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Vajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penyapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Vajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:
§  Pembebasan melalui proses pemakaian
§  Pembebasan melalui proses pendengaran
§  Pembebasan melalui proses ingatan
§  Pembebasan melalui proses penglihatan
§  Pembebasan melalui proses Pengecapan
§  Pembebasan melalui proses sentuhan.
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.


A.    Niciren Soshu
Salah satu sekte dalam agama Buddha yang mengakui Nichiren Daisyonin sebagai pendirinya dan Nikko Syonin sebagai pewaris hukumnya. Kuil pusat sekte ini terletak di Taisekiji di propinsi Syizuoka. Tahun 1872 dalam usaha mempersatukan negeri untuk tujuan perluasan ekonomi dan militer pemerintah Jepang mencoba untuk mengorganisasikan aliran-aliran agama Buddha yang terdapat di Jepang ke dalam tujuh sekte, dan merencanakan semua sekte yang mengakui Niciren sebagai pendirinya dilebur menjadi satu dengan sekte Niciren Syu yang berpusat di Minobu. Niciin Syonin, Bhikku tertinggi ke-54, menentang rencana ini. Sebagai gantinya, delapan kuil yang mengakui Nikko Syonin dan murid-muridnya bersatu di tahun 1876 dan menyebut diri mereka sekte Niciren kelompok Nikko. Akan tetapi karena beberapa anggota kelompok ini mengakui doktrin yang amat berbeda dengan Taisekiji, maka tahun 1900 Taisekij berdiri sendiri, mengambil nama sekte Niciren kelompok Fuji. Tahun 1912 mereka berganti nama menjadi Nichiren Soshu. Sekitar 1940 sebelum Jepang ikut dalam Perang Dunia II, pemeritah menginginkan agar semua sekte-sekte Nichiren dijadikan satu dalam pengawasan militer. Komperensi antara Bhikku dan penganut segera diadakan di Taisekiji dan memutuskan untuk menolak tuntutan itu. Sebagai hasil dari perjuangan bersama itu akhirnya Nichiren Soshu diperbolehkan untuk meneruskan kebebasannya untuk seterusnya. Sejak ada kebebasan beragama setelah perang, sekte ini mempunyai kesempatan untuk maju dengan pesat.
B.     Tokoh dan ajarannya
Dalam Niciren Shosyu pewaris dari Hukum sejati diwariskan dari Niciren Daisyonin kepada Nikko Syonin.
a.       Tri Ratna Dalam Agama Buddha Niciren Syosyu
Kata Buddha menunjukkan seseorang yang mencapai kesempurnaan sebagai seorang manusia, dengan Maitri karuna yang maha agung dan besar untuk menyelamatkan penderitaan umat manusia, dan seseorang yang secara spiritual telah membangkitkan Hukum Kejiwaan dan Hukum Alam semetsta. Oleh karena itu, Buddha ditempatkan sebagai manusia yang paling dihargai dan dihormati.
“Dharma” berarti Hukum yang dibabarkan oleh Sang Buddha, yang diwariskan untuk masa mendatang melalui kebijaksanaan dan kekuatan-Nya. Dengan melaksanakan Hukum in, setiap manusia dapat mencapai Kesadara Buddha. Karenanya, Dharma juga patut ditempatkan kedudukannya sebagai Pusaka
“Sangha” adalaha sekelompok manusia yang mewariskan semangat Sang Buddha, menjaga Dharma dan menyebarkannya ke seluruh dunia dan untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, untuk penyebarluasan, melaksanakan dan mengajarkan Dharma dibutuhkan sumbangsih Sangha dengan demikian, Sangha juga dikatakan sebagai pusaka ketiga yang tak ternilai harganya.
Pada masa mutakhir Dharma ini, maka Tri Ratna dalam Agama Buddha Niciren Soshu adalah Niciren Daisyonin (Buddha), Dai Gohonzon (Dharma) dan Nikko Syonin (Sangha).
b.      Tiga Hukum Rahasia Agung
Terdiri dati: Pusaka Pujaan yang sejati (Jepang: Hon Mon No Honzon) ; mantera atau daimoku yang sejati (Honmon no Daimoku) dan altar pemujaan yang sejati (Honmon no Kaidan). Ketiganya menunjukkan inti Agama Buddha Nichiren Daisyonin dan dijelaskan dalam Ho On Syo (Surat Membalas Budi), San Dai Hiho Syo (Surat Perihal Tiga Hukum Rahasia Agung) dan dalam Gosyo-gosyo lainnya.






Berikut Tabel Perbandingan antara Nichiren Shu, Nichiren Soshu dan Sokka Gakkai mengenai Tiga Hukum Agumg:



Nichiren Shu


Nichiren Shoshu
Sokka Gakkai


Triratna

Doktrin teori resmi
Kenyataan yang diteliti dan diajarkan



Buddha
Buddha Sakyamuni yang Abadi
Nichiren Shonin
Nichiren Shonin
Presiden Ikeda

Dharma
Namu Myoho Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Namu Myoho Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Namu Myoho Renge Kyo (Saddharma Pundarika Sutra)
Ajaran dan tulisan dari Presiden Soka Gakkai

Sangha
Nichiren Shonin (memimpin semua Bhiksu, biarawati dan pengikutnya)
Nikko Shonin dan Bhiksu Tertinggi turun temurun dari Kuil Taisekiji
Nikko Shonin
Organisasi dari Soka Gakkai dan semua anggotanya


Nichiren Soshu di Indonesia
Pada awalnya agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia masih dianut oleh orang Jepang yang bertugas di indonesia pada tahun 1950-an.  Pada saat itu penganutnnya hanya terdiri dari beberapa keluarga saja.  Pada tahun 1960-an mulai membentuk pertemuan-pertemuan diskusi untuk mempelajari agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia dan mendapatkan banyak pengikut.
Pada akhir tahun 1940 akhir Shintaro Noda, anggota Sokkagakai, pegawai Nissho Iwai kembali bertugas di Indonesia dan sekaligus menjadi penyiar agama Nichiren Shoshu sekaligus pimpinan Nichiren Shoshu sampai awal tahun1970-an dan secara organisatoris berafiliasi kepada Sokkagakai dan kemudian hari membentuk Sokagakkai internasional.
Pemerinta Orde Baru yang diskriminatif, mengkatagorikan semua agama Buddha sebagai unsur-unsur budaya Tionghoa yang tidak boleh berkembang dan segala kegitannya harus diawasi menimbulkan berbagai goncangan.  Terpaksa di buat yayasan Nichiren Shoshu Indonesia pada tahun 1967 yang sebenarnya dipimpin oleh bukan umat Nichiren melainkan saudara sepupuh dari seorang penganut , kondisi ini akhirnya meninbulkan kekacauan kepemimpinan karena pimpinan de facto Shintaro Noda berkewarganegaraan jepang tidak dapat menjadi pemimpin de jure. Akhirnya pada awal tahun 1970-an Shintaro Node disingkirkan dari kepemimpinan, dan munculah pimpinan baru,Senosoenoto, suami dari Kaiko Sakurai seorang anggota soksgakkai.
Di kemudin hari Senosoenoto berhasil mengajak kawannya Ir Soekarno,seorang mantan menteri pada masa Orde Lama, menjadi penganut dan kemudian menjadi sala satu pucuk pimpinan  NSI, Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama Buddha di Indonesia,  mewakili  NSI menjadi pendiri organisasi yang sekarang bernama WALUBI, Soekarno wafat pada tahun 1981.
WALUBI merupakan wadah tunggal agama Buddha, berbentuk federasi dan bersifat konsultatif dan koordinatif. WALUBI merupakan partner pemerintah dalam memberikan bimbingan serta dalam menyelesaikan berbagai masalah agama dan umat Buddha yang timbul dan terjadi di masyarakat. WALUBI mempunyai anggota 3 Sangha dan 7 Majelis yang terdiri atas :
a)      Sangha Agung Indonesia
b)      Sangha Theravada Indonesia
c)      Sangha Mahayana Indonesia
Majelis
1)      Majelis Upasaka Pandita Agama Buddha Indonesia (MUABI) yang setelah Kongres Umat Buddha Indonesia
2)      Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia
3)      Majelis Dharma Duta Kasogatan, yang kemudian bernama majelis Kasogatan Tantrayana Indonesia
4)      Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia
5)      Majelis Agama Buddha Nichiren Shoshu Indonesia
6)      Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia
7)      Majelis rohaniawan Tri Dharma Seluruh Indonesia
Pada tanggal 8 – 11 juli 1986 di jakarta diadakan Kongres I WALUBI yang pembukaanya dilakukan di Balai Sidang Senayan dan Presiden Sueharto berkenan membuka kongres ini. Dalam kongres ini tersususn pengurus baru yang di ketahui oleh Bhikku Girirakkho Mahathera. Pada tanggal 8 juli 1987 diadakan sidang Khussu Widyeka Sabha WALUBI tanggal 9 – 10 juli 1987 Widyeka Sabha WAALUBI telah mengambil keputusan bulat mengenai NSI (Nichiren Shoshu Indonesia) dengan tidak mengakuinya sebagai majelis agama Buddha karena antara lain :
NSI berisi ajaran dan doktrin yang menyimpang atau menyeleweng agama Buddha yang berpedoman pada Kitab suci Tripitaka/Tipitaka secara utuh terpaduh sebagaimana yang diajarkan oleh Buddha Gaotama /Sakyamuni. Keputusan ini dilaksanakan olekh DPP WALUBI  melalui pernyataan DPP WALUBI No. 01/ DPP /Sangha dan enam majelis agama Buddha.
1.      Perpecahan N ichiren Shoshu di Indonesia
Sejak akhir tahun 1970   sampai  pertengan tahun 1980,  NSI  berkembang dan mencapai puncak kejayaannya.  Sebagaimana umumnnya perkembangan organsasi, bilamana telah berkembang pesat, maka pada tahap-tahap tertentu muncul masalah rule of the game, management asset/financial,dan mekanisme pertanggungjawaban  kepemimpinan organisasi. Tahun 1986  muncul usulan dan tuntunan untuk membuat AD dan ART  NS, yang memang belum ada. Draf AD  ART  disusun dan di buat oleh 9 orang atas permintaan Senosoenoto,yang dikemudian hari di kenal sebagai kelompok 9.
Intisari kelompok sembilan ini tidak terakomodasi, mereka disingkirkan,  AD,  ART,  NSI,  tak kunjung terwujud,merka lalu membuat yayasan visistakaritra pada tanggal 16 februari 1987, sehubungan dengan ketentuan undang-undang tentang yayasan di kemudian hari di bentuk yayasan visistakaritra, yang dimaksud untuk melanjutkan kegiatan visistakaritra sampai saat ini, dan secara subyektif berorientasi pada Sangha Nichiren Shoshu.
NSI sendiri sepeninggalan almarhum Senosoenoto, terpecah 2 karena adanya perbedaan pandangan mengenai siapa yang akan menjadi ketua umum berikutnnya, antara kubu pendukung wakil ketua umum  johan Nataprawira dan kubu wakil ketua umum kaiko Senosoenoto. Dalam suatu mukhtamar  akhirnya terpilihlah Suhadi Sendjaja dari kubu johan Nataprwira, dan saat ini masih menjadi ketua umum NSI. Namun keberadaan ini ditentang oleh Sangha Nichiren Shoshu. Akibatnya sampai sekarang ini Suhandi Senjaya dikeluarkan dari Nichiren Shoshu dan organisasi NSI tidak diakui sebagai Ormas penganut Nichiren Shoshu  di Indonesia.
Kubu Kaiko Senosoenoto mendirikan yayasan Pandita Sabha Buddha Dharma Indonesia, mengangkat anak perempuannya , Aiko sonosoenoto sebagai ketua umum sampainsekarang ini.  (BDI) kemudian sekitar tahun 2000-an ,  bersama Sangha Nichiren Shoshu  membentuk yayasan Pendidikan Sangha Nichiren Shoshu Indonesia yang diketahui oleh mantunnya  Keiko  Senosoenoto suminya Aiko Senosoenoto , Rusdy Rukmarata.
Yayasan Sangha inin “memiliki” dua buah kuil,  Myogan-ji terletak  Megamendung dan Hosei-ji terletak dijakarta kedua kuil tersebut  di pimpin kepala kuil Bhikku dari kuil pusat Taeseki-ji  Jepang.
Pada tahun 1992 terjadi pertikaian antara Sangha Nichiren Shoshu (di Jepang) dengan Sokagakkai/Sokagakkai internasional, dan berakibat Sokagakkai membentuk sekte tersendiri dan di beri nama Nichiren Sekai Shu, ke jadian ini juga berimbas ke indonesia ,sebagai umat Nichiren Shoshu yang ada membentuk kelompok baru bernama  Sokagakkai Indonesia yang berpusat  di kemayoran Jakarta, dan menjadi penganut sekte Nichiren Sekai Shu, yang tentu saja didukung oleh Sokagakkai internasional dan Shintaro Noda




Sejarah Buddhisme Zen
            Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana.Kata Zen berasal dari bahasa Jepang. Sedangkan bahasa Sansekerta nya, Dhyana. Di Cina dikenal sebagai Chan yang berarti meditasi.Aliran Zen memberikan fokus pada meditasi untuk mencapai penerangan atau kesempurnaan.
            Aliran Zen dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal dari India dan meninggalkan negaranya menuju ke Tiongkok, lalu berdiam di kanton pada tahun 520 M Bodhidarma itulah yang menjadi Imam pertama di Tiongkok. Aliran Zen asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng. Setelah itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang. Zen diklaim sebagai Transmisi Jiwa Ajaran Buddha yaitu transmisi yang paling penting dan merupakan jenis transmisi yang dimaksudkan adalah “transmisi khusus diluar kitab suci” pada syair. Meskipun hanya kitab suci yang disebutkan dalam syair tersebut, transmisi dimaksud mesti dimengerti berada diluar transmisi ordinasi dan doktriner juga. Menurut tradisi buddhis sang Buddha pernah suatu waktu duduk dikelilingi sekumpulan besar siswa-siswa-Nya. Beratus-ratus Bodhisattva dan Arahat, Bikshu-biksuni, serta Upasaka-upasika hadir bersama-sama dengan berbagai kelompok makhluk-makhluk surgawi. Semuanya diam, menunggu Sang Buddha bersabda. Tapi pada kesempatan ini, bukannya mengeluarkan kata-kata, ditengah keheningan Sang Bhagava hanya mengangkat sekuntum bunga berwarna emas… Hanya Mahakasyapaa, satu diantara siswa-siswa tertua yang termahsyur karena kesederhanaanya mengerti makna perbuatan Sang Buddha, dan ia tersenyum. Sang Buddha kemudian bersabda, “Aku yang memiliki Mata dari Dharma yang luar biasa, yakni Nirvana, Kesadaran, misteri realita dan non-realita, serta pintu gerbang kebenaran transenden. Aku sekarang menyerahkannya kepada Mahakasyapa.” Inilah yang dimaksud dengan transmisi. Mahakasyapa mentransmisikan jiwa Dharma kepada Ananda, yang telah menjadi siswa langsung Sang Buddha selama dua puluh tahun kehidupannya di dunia.Ananda meneruskannya kepada Sanakavasa, muridnya dan seterusnya. Dari mahakasyapa di abad ke-5 SM hingga kepada Bodhidharma di abad ke-6 M, transmisi ini dilanjutkan dalam satu garis guru-guru spiritual, sebagian kurang dikenal dan sebagian lagi merupakan nama-nama paling top dalam sejarah agama Buddha di India.
Ajaran-ajaran Buddhisme Zen
            Segala ajaran di dalam aliran Chan itu lebih mengutamakan saluran “ingatan kepada ingatan” (mind to mind). Aliran Chan itu memperpegangi kisah, betapa Buddha Gautama (563-483 sM) pada suatu kali di dalam menyampaikan ajaranya tidak mengucapkan sepatah kata apapun, tetapi Cuma memandangi mata seorang muridnya, lalu membikin gerak kecil dengan jarinya sang murid itu mendadak menerima suatu ilmu tertinggi. Jadi aliran Chan itu tidak hendak mempergunakan argumentasi-argumentasi yang rasional maupun rumusan-rumusan theology yang demikian pelik.
            Jalan satu-satunya bagi mendekati kebenaran terakhir itu ialah melalui Samadhi, yang terbagi dalam dua macam :
1.         Tathagatha-Meditation, yaitu cara Samadhi dari Buddha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan
2.      Patriarchal-Meditation, yaitu cara Samadhi yang diajarkan Patriarch Bodidharma, meniadakan pemikiran dan memusatkan kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian Buddha.

        Tentang kesadaran rohaniah itu terapat dua paham pada masa Imam keenam Hui Neng (638-713 M) masih hidup, yaitu:
1.      Kesadaran mendadak, dianut oleh aliran Selatan, menurut ajaran Imam Hu Neng.
2.      Kesadaran berangsur, dianut oleh aliran Utara, menurut ajaran dari Shen Hsiu (605-706 M).

Buddhisme Zen dan alirannya
Menurut Suzukizen bukanlah filosofi karenapemikiran zen bukanlah berdasarkan pada logika dan analisis. Zen tidakpernah mengajarkan untuk berpikir secara intelektual dan menganalisis.Pemikiran yang dihasilkan oleh seorang ahli zen selalu diajarkan secaraturun - temurun kepada muridnya demikian juga seterusnya. Jika menyangkutbagaimana cara Zen menyebarkan ajarannya, yaitu sama dengan yangdilakukan Sidharta. Hal ini didukung oleh pernyataan, yang menyebutkanbahwa ajaran dari Budha sendiri diturunkan kepada murid – muridnya secaralangsung dan turun – temurun.
3. Aliran-aliran budhisme Zen
Seiring dengan berjalannya waktu aliran Zen Budhismeinipun melahirkan beberapa aliran Adabeberapa sekte/aliran Cha’n/Zen yang berkembang menurut metode yang berbedaatau keadaan setempat.  Diantaranya sebagaiberikut: Aliran Lin Chi, dikembangkan oleh Master Lin Chi (kira-kira 850 M)Aliran Chau Tung, dikembangkan oleh Master Tung San Liang Chie (807-869) dan Chau San (840-901)Aliran Kuei Yang, dikembangkan oleh Kuei San (771-853) dan Yang San (807-883) Aliran Yun Men, dikembangkan oleh Yun Men (862-853)Aliran Fa Yen, dikembangkan oleh Fa Yen (885-958)Zen kemudian berpecah menjadi 5 aliran, dan di kemudian, hari kelima aliran ini dileburmenjadi dua aliran, yakni Tsao Tung (Soto) dan Lin Chi (Rinzai). Karena itusampai sekarang yang kita kenal hanyalah dua aliran Zen, yaitu Soto dan Rinzai yang pada abad ke XII bermigrasi dari China ke Jepang.Aliran Soto menekankanpencapaian pencerahan melalui meditasi tenang pengosongan pikiran(kontemplasi), sedangkan aliran Rinzai menekankan pencapaian pencerahan melaluimeditasi yang diarahkan kepada aliran tertentu.
1.      Meditasi untuk Pencerahan
2.      Pencarian di Dalam - melepas segala Konsep dan Kata
3.      Pengalaman Langsung
4.      Laku - bukan Filsafat
5.      Kesadaran Hishiryo - Menjadi Sederhana 
6.      Jalan Tengah
7.      Pengantar untuk pokok-pokok ajaran
8.      Mushotoku - Berhenti Mengejar
9.       Sekarang, Di Sini, Saat Ini
10.  Wu - Wei 
Istilah ini susah diartikan dan bahkan sangat sering salah diterjemahkan. Inilah kebijakan yang berasal dari Taoisme. Sering diterjemahkan sebagai : Tidak berbuat - atau dalam Bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai ' Action in No Action ' - sebuah terjemahan yang mungkin artinya agak membingungkan. Yang mendekati arti sesungguhnya dari wu-wei mungkin adalah :Kebijakan untuk tidak mencampuri, tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan apa yang alami. Let nature takes care of itself - Biarkan yang alami bekerja, jangan memaksakan, jangan mengatur, jangan mempengaruhi. Biarkan Hukum Alam bekerja.Harmoni dengan alam.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar